Dalam kebudayaan Jawa khususnya, ada penyebutan istilah untuk nama-nama panggilan sebagai penghormatan kepada yang telah melahirkan pribadi kita masing-masing sebagai manusia Jawa, mulai dari Bapak/Ibu yang melahirkan diri kita, Simbah/Eyang yang melahirkan Ayah/Ibu, Buyut, Canggah, Wareng dst. Dalam budaya Jawa diperkenalkan sampai 18 tingkatan ke atas (sampai Trah Tumerah). Sayangnya bagi kita sekarang pada umumnya, sampai Simbah/Eyang saja yang jumlahnya pasti 4 (dari Bapak 2, dari Ibu 2), jarang kita bisa menyebutkan namanya secara lengkap, apalagi Buyut (8 orang), Canggah (16 orang) dst.
Secara matematis jika dihitung, sampai ditingkat ke 18 saja (Trah Tumerah), jumlahnya sudah mencapai 262.144 orang yang kalau dijumlah semua dari Bapak/Ayah/Ibu sampai Eyang Trah Tumerah (mereka semua andil dalam melahirkan kita masing-masing) jumlahnya menjadi 524.286 orang, bayangkan jika silsilah itu naik dua tingkat lagi, jumlahnya mencapai satu juta lebih (1.048.576 orang), menjadi sangat mungkin jika kita ini keturunan raja/kaisar, nabi, rasul, pahlawan/syuhada atau orang-orang terkemuka dan terkenal yang lain.
Dalam keyakinan kita sebagai penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME ada satu keharusan untuk memuliakan leluhurnya masing-masing (salah satu kewajiban dasar dalam melakukan pencarian "Sangkan paraning dumadi"). Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan hal itu jika nama nenek/kakek kita saja tidak tahu....? Apalagi untuk mengenal jasa-jasa mereka...? Celakanya, sebagian malah terlanjur memuliakan leluhur bangsa lain yang sama sekali tidak kita kenal kecuali dari "katanya ......"
Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada mereka yang bergelar Habib (entah benar atau tidak), kebanyakan dari saudara-saudara kami yang Muslim sangat mengelu-elukan mereka sebagai orang yang dianggap masih keturunan Nabi Muhammad SAW, dianggap mereka yang masih keturunan Rasulullah bisa memberikan berkah/safaat bagi kehidupan para pengikutnya. Semua itu tidak ada yang salah karena memang itu yang mereka percayai....
Dalam Al-Kitab banyak tercantum silsilah atau garis keturunan para tokoh baik raja ataupun nabi-nabi dalam banyak tingkatan bahkan sejak Adam pun ada, ini menunjukkan betapa rajinnya mereka mencatat silsilah para leluhur mereka, padahal usia saat itu rata-rata panjang sampai ratusan tahun, sedang bangsa kita yang katanya telah mampu membuat kalender di tahun 911 SM (Empu Hubayun) bahkan ada yang lebih tua dari itu, sekaligus juga tentunya sudah memiliki huruf, ternyata sekarang (hari ini) jarang atau sedikit sekali diantara kita yang mampu mengenal leluhurnya sendiri.
Sehubungan dengan judul di atas penulis juga berusaha mencari tahu keturunan siapakah diri penulis itu sendiri ...? Dengan berbekal data yang ada ditambah dengan ingatan penulis menghimpun informasi dari banyak pihak, termasuk sikap-sikap unik sebagian kecil masyarakat di kampung Jagalan kidul Magetan terhadap penulis saat dia masih kecil, juga cerita-cerita nenek saat itu, juga hasil cross check dengan beberapa web di internet, maka sampailah pada kesimpulan bahwa dari pihak ayah, penulis ini masih keturunan dari seorang kepala desa (wiyoro) di Lorog kabupaten Pacitan bernama Eyang (Canggah) Karyo Menggolo. Adapun dari pihak Ibu penulis masih darah keturunan Eyang (Udheg-udheg) Kyai Gajah Sorengpati yang makamnya di Taman - Madiun yang kalau tidak salah masih keturunan dari Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram Islam, penulis termasuk garis keturunan ke 14 dari beliau (sebagai Eyang Ampleng). Benar atau salah Wallahu 'alam bi sabab.
Kalau yang di atas itu benar, maka penulis juga keturunan dari Pangeran Nrang Kusumo (termasuk leluhur yang dimuliakan di kota Magetan), dan itu pernah penulis buktikan secara spiritual, selain karena tertulis dalam silsilah.
Nah, apabila diantara pembaca ada yang tertarik dengan tulisan ini dan ingin memberikan tanggapan, baik berupa kritik maupun saran, penulis bersedia menerima dengan segala senang hati. Hubungi saja wa penulis di nomor 0852 5762 4559
Tidak ada komentar:
Posting Komentar