Ruwat Sukerta Murwokolo


Latar belakang

Tiada beda dengan peri kehidupan kita semuanya, bumi yang kita huni ini usianya makin hari makin bertambah. Di satu sisi manusia menjadikannya makin cantik, makin indah, makin gemerlap di malam hari dan makin menggairahkan kehidupan manusia itu sendiri. Namun di sisi lain, kita tak boleh menutup mata bahwa kerusakan permukaan dan isi bumi pun juga semakin parah. Penambangan berbagai kekayaan isi perut bumi baik legal maupun ilegal semakin meluas , semakin dalam  dan semakin tak terkendali semuanya menyebabkan kerusakan permukaan bumi sampai ke dasar laut  menjadi semakin parah. Perambahan hutan dengan pembakaran dan penebangan liar, juga eksploitasi kelautan yang meningkat baik kualitas teknologinya maupun kuantitas arealnya, hampir semuanya mengarah kepada ancaman terhadap keselamatan bumi ini beserta penghuninya. Suhu bumi yang kian meningkat, gejala anomali  cuaca/iklim, bertambahnya jenis-jenis penyakit, naiknya rob air laut di berbagai daerah, banjir di mana-mana, tsunami seringkali terjadi, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, juga badai dahsyat yang mengerikan, udara yang makin terpolusi dan banyak lagi bencana-bencana yang lain sebagai akibat ulah manusia sendiri, tak terkecuali semburan lumpur panas di Sidoarjo yang dampaknya makin nyata menyengsarakan masyarakat.  Dari sisi manusianya, di negeri ini para pemimpin seringkali bangga menjadi tontonan di TV memamerkan kepiawaiannya bersilat lidah tanpa ada yang mau mengalah apalagi mengaku salah, pembohongan publik semakin menjadi,  kenyataannya korupsi makin terbongkar di sana-sini, perselingkuhan pun semakin direstui. Di belahan dunia yang lain seperti di Mesir, Libya, Tunisia, Irak, Iran, Pakistan, Kamboja dsb, hampir di semua negara baik yang maju atau yang belum selalu kita lihat dan dengar adanya pertentangan, permusuhan dan juga peperangan baik antar negara maupun antar etnis, antar kelompok masyarakat dsb. seakan takkan pernah henti. Sehingga kondisi bisa dikatakan makin kacau. Benarkah kalau kita katakan bahwa Bumi ini makin tua ??? Ataukah ini kesalahan manusia sendiri yang nampaknya semakin hari semakin serakah saja ??? Mengapa manusia yang katanya sebagai makhluk paling sempurna, justru yang paling banyak berbuat kerusakan ??? Bolehkah kita pessimis bahwa bumi kini menjelang kehancurannya ???  
Atau sebaliknya, bahwa kita masih bisa memperbaikinya !!Ingat bahwa  faktor manusia adalah yang paling banyak menentukan maraknya perubahan baik itu perbaikan atau bahkan perusakan .....Dari ulah manusialah sebagian nasib bumi ini dipertaruhkan 
Bisakah semua kerusakan itu dikurangi atau bahkan dihentikan ??? Kiranya di sinilah peran manusia diperlukan. Tetapi... lewat cara mana kita dapat mempersiapkan manusia yang lebih berkualitas baik secara ragawi maupun secara mental. moral dan spiritual ??? Ada baiknya kita mencobanya, karena nasib suatu kaum akan bisa berubah oleh ulah kaum itu sendiri....

Kalau manusia sudah berwatak seperti Bethara Kala (menurut Ki Dalang) yaitu makhluk raksasa yang digambarkan suka memakan atau menindas/memeras/memperbudak sesama manusia, alamat dunia akan semakin berantakan ....... padahal ada suatu hukum alam .....

"Sapa nandur bakal ngundhuh" begitu pepatah Jawa mengatakan yang artinya kurang lebih adalah bahwa setiap perbuatan manusia (sekecil apapun) pasti ada akibatnya (diperhitungkan oleh Tuhan YME).

 

Lahirnya Bathara Kala mengandung Nilai Pendidikan Karakter.

Menurut kisah Ki Dalang, kelahiran bayi yang kemudian dinamakan Bathara Kala sangatlah tidak wajar. Silahkan pembaca menyimak hal tersebut pada halaman cerita pedalangan (cari dilajur kiri) .Hal tersebut sebenarnya mengandung makna ajaran bahwa kejadian janin manusia yang berawal dari perbuatan kedua orang tua pada saat memadu kasih sangatlah menentukan apa dan siapa yang bakal terjadi/tercipta, karena tak ada sesuatupun di dunia ini yang terjadi tanpa sebab. Demikian pula halnya dengan turunnya benih sang ayah kepada sang ibu, segala faktor kondisi dan situasi pada saat itu semuanya ikut menghantar sekaligus mewarnai terbentuknya benih manusia lengkap dengan perwujudan maupun sifat-sifat yang akan dimiliki oleh manusia yang akan terlahir nanti. Itulah sebabnya saat-saat memadu kasih tersebut menurut paham orang Jawa khususnya Nusantara pada umumnya amat sangat disakralkan dan sangat diperhitungkan. Perwujudan lingga dan yoni yang disakralkan para leluhur menjadi bukti tentang hal itu. Jadi, sangatlah berkebalikan dengan apa yang sering terjadi sekarang. Pernikahan, baik itu resmi ataupun setengah resmi seringkali hanya dipakai sebagai pelampiasan hawa nafsu/keinginan semata. Semakin maraknya tempat-tempat maksiat (walau secara legal telah banyak ditutup), ataupun tempat-tempat yang menyediakan sarana untuk perilaku seks bebas/menyimpang, begitu banyaknya kiat-kiat (termasuk segala peralatan/obat-obatan) yang digunakan untuk merestui perbuatan pemuas nafsu seperti itu, tak terkecuali melalui cara-cara sok suci yang berlapis label halal, termasuk perselingkuhan-perselingkuhan yang dibenarkan secara hukum. Kawin cerai sudah menjadi hal yang lumrah dan malah menjadi kebanggaan bagi sebagian orang (mungkin para artis) karena menjadi sensasi tersendiri. Bagaimanapun akal manusia mengelabui niat-niat bejad itu dengan segala macam hukum, tak ayal pasti akan menghasilkan benih-benih manusia sialan yang nantinya ikut serta andil dalam merusak dunia/alam ini . Dalam arti kata akan melahirkan Bathara Kala - Bathara kala baru yang ikut merusak tatanan masyarakat dan akhirnya menyengsarakan banyak pihak. Dan itu semua rupanya sudah terjadi sejak lama, sejak merembesnya kebudayaan asing yang tak sempat difilter oleh bangsa kita dan bahkan sebagian malah dibanggakan karena dianggap lebih menyelamatkannya. Krisis multi demensi yang salah satunya adalah dekadensi moral semakin merebak di bumi pertiwi ini sebagai akibat lahirnya Bathara Kala yang semakin banyak.
Lalu .... selanjutnya , apakah kiranya yang akan kita perbuat ...???


 Sing sapa nandur bakal ngunduh, siapa menanam dialah penuainya

Dengan berbekal keyakinan seperti di atas ditambah keyakinan akan ke Maha Adil-an dan Maha Kasih Tuhan YME, masyarakat Jawa pada umumnya tetap optimistis, bahwa segala sesuatu itu terjadi karena ulah manusia sendiri. Kesejahteraan, ketenteraman, kebahagiaan semua tercipta sebagai buah hasil perbuatan, demikian pula sebaliknya. Untuk itu maka kita harus selalu berusaha  menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalam pribadi generasi muda sekarang dan nanti., tentunya demi kebaikan nasib mereka nantinya. Kita harus lakukan sesuatu untuk dunia ini dimulai dari manusianya.  Kita mencoba mempersiapkan manusia yang lebih bersih dari segala macam kendala,  bersih dari dosa, bersih dari segala penyebab sial, dan siap berjuang lebih gigih berlandaskan nilai-nilai luhur budaya asli milik bangsa sendiri, demi masa depan dunia yang lebih gemilang. Ruwatan Murwakala adalah salah satu ritual sakral di Tanah Jawa yang bertujuan menghilangkan pengaruh-pengaruh negatif yang terbawa seseorang karena suatu kondisi di saat lahir , atau mungkin juga karena suatu tingkah perbuatan yang salah , yang kemudian selalu menyebabkan rasa khawatir (uwas Jw)  dan kurang percaya diri yang bisa mengakibatkan kesialan hidup dan kesialan dalam segala hal usaha dan perbuatannya, yang tentu saja dampaknya bisa membawa bencana di sekelilingnya (keluarga dsb). Sosok manusia yang selalu sial (dan bisa membawa sial) seperti inilah yang disebut Janma Sukerta. Sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah ini sebagian masyarakat Jawa masih sangat percaya bahwa dengan melaksanakan Upacara Ritual Ruwatan  disertai pagelaran Wayang Kulit dengan lakon Murwakala tersebut maka sukerta (penyebab kesialan) seseorang akan dapat dilenyapkan sehingga diharapkan  anak/orang tsb. bisa hidup bahagia sejahtera dst. di kelak kemudian hari . Siapa saja kah kiranya yang termasuk Janma Sukerta itu  ?? Silahkan simak penjelasan berikutnya untuk mengetahuinya lebih jelas.

Selain ruwatan yang ditujukan bagi seseorang ada pula ruwatan yang bersifat lebih luas misalnya ruwatan desa, ruwatan negara, dan sebagainya.
            


JANMA SUKERTA (Anak /orang yang perlu diruwat)

            Apakah Anda juga termasuk dalam kategori JANMA SUKERTA ???? Janma artinya manusia, sukerta = sesuatu penyebab kesialan, jadi janma sukerta adalah manusia yang karena sesuatu hal (menyandang sukerta), menjadikan hidupnya sering atau selalu mendapat kesialan ( celaka, menderita, apes dsb.) Di bawah ini adalah tanda-tanda atau ciri-ciri anak manusia yang menyandang sukerta , yang perlu diruwat (disingkirkan) sukertanya sehingga diharapkan akan hidup lebih sukses, lebih bahagia dan selamat (rahayu). Adapun macam-macamnya adalah sebagai berikut :

Janma Sukerta 1:
 
-      
Anak Ontang-anting , anak tunggal (tak bersaudara)
-      Wungkus, anak lahir dalam keadaan terbungkus.
-      Wungkul, anak lahir tanpa tembuni (ari-ari/placenta)
-      Tiba sampir , anak lahir berkalungkan usus
-      Tiba ungker, anak lahir terbelit usus,atau sakit tidak dapat menangis.
-      Jempina, anak lahir sebelum waktunya (prematur)
-      Margana, anak lahir di tengah perjalanan.
-      Wahana, anak lahir ditengah keramaian
-      Julungwangi , anak lahir tatkala matahari terbit.
-      Julungsungsang, anak lahir tepat tengah hari.
-      Julungsarab = Julungmacan = Julung caplok, anak lahir menjelang matahari terbenam .
-      Julung pujud , anak lahir waktu matahari terbenam.
-      Siwah, anak lemah mental
-      Kresna, anak berkulit hitam legam
-      Wungle , anak berkulit bule.
-      Walika , orang kerdil
-      Bungkul , orang bungkuk sejak lahir
-      Wujil, orang cebol.


Janma Sukerta 2 : -      Kedhana-Kedhini, dua bersaudara ,laki-laki perempuan.
-      Kembar, anak lahir bersamaan sehari, laki-laki semua atau perempuan semua.
-      Dhampit, anak lahir bersamaan sehari, laki-laki dan perempuan
-      Gondhang Kasih, anak lahir kembar, yang satu bule , yang satunya hitam.
-      Tawang Gantungan, anak kembar , tetapi lahirnya berselisih hari.
-      Sakrendha, anak lahir bersamaan sehari sekaligus dua atau lebih dalam satu bungkus.
-      Sekar Sepasang, dua perempuan bersaudara.
-      Uger-uger lawang, dua laki-laki bersaudara.


 Janma Sukerta 3 :
-      Pancuran kapit sendhang, tiga bersaudara, perempuan   laki-laki   perempuan.
-      Sendhang kapit pancuran, tiga bersaudara , laki-laki  -   perempuan   laki-laki


Janma Sukerta 4 :-      Saromba , empat laki-laki bersaudara
-      Sarimpi, empat perempuan bersaudara

Janma Sukerta 5 : -     Panca Putra, lima laki-laki bersaudara = Pandawa
-      Panca Putri , lima bersaudara perempuan
-      Pipilan , lima bersaudara, empat perempuan satu lelaki
-      Padangan, lima bersaudara, empat lelaki, satu perempuan.

SELAIN YANG TERSEBUT DI ATAS , DIBAWAH INI JUGA TERMASUK KATEGORI JANMA SUKERTA 
YANG DIAKIBATKAN OLEH SESUATU PERBUATAN (ULAH) YANG SALAH (PENYEBAB SUKERTA) BAIK DISENGAJA MAUPUN TIDAK . (HANYA DICUPLIK SEBAGIAN YANG SEKIRANYA MASIH RELEVAN)

1. Orang yang pintu dan jendela rumahnya masih terbuka di saat matahari terbenam (senjakala).
2. Orang mendirikan rumah tanpa tutup samping atap (keyongan Jw)
3.  Orang yang menggunakan balai-balai tanpa dialasi tikar dsb.
4.  Orang yang tidur di atas kasur tanpa dialasi kain (pramada/sprei)
5.  Orang memasang hiasan (lukisan dsb.) tanpa bingkai.
6.  Orang yang menyimpan wadah sesuatu tanpa tutup
7.  Orang yang memiliki sumur tepat di depan rumah
8.  Orang yang memiliki sumur tepat di belakang rumah
9.  Orang yang memiliki dapaur menghadap tepat ke utara atau ke timur
10. Orang yang memiliki halaman rumah yang landai
11. Orang yang tidak pernah memberi  (mengeluarkan) dana (beramal dengan uang)
12. Orang yang tidak pernah melaksanakan kurban (sesuai agama/keyakinannya)
13. Orang yang tidak pernah berjasa pada orang lain (melakukan hal berguna bagi orang lain tanpa 
      pamrih)
14. Orang yang tidak pernah menyisakan hasil pekerjaannya untuk diberikan orang /makhluk lain 
      (misalnya kalau dulu saat menumbuk padi selalu menyisakan  beras  di lesung)
15. Orang yang tidak pernah bersih-bersih rumahnya sendiri (mis. menyapu lantai dsb.)
16. Orang yang menyapu di malam hari.
17. Orang yang suka menyimpan sampah
18. Orang yang membersihkan sesuatu dengan kain sarung/ sejenisnya yang masih terpakai.
19. Orang yang selalu berbuat ceroboh dalam segala hal
20. Orang yang buang air besar/kecil dalam rumah yang bukan tempat semestinya.
21. Orang buang air besar/kecil ditampung dalam tempat/wadah yang bukan semestinya.
22. Orang yang buang air kecil sembarangan di jalanan.
23. Orang yang suka bertelanjang (padahal tidak gila)
24. Orang berdiri lama di tengah pintu
25. Orang yang suka menggelantung pada pintu
26. Orang yang suka duduk lama dan bersandar pada daun pintu
27. Orang yang suka dan sering bertopang dagu (sangga uwang Jw.)
28. Perempuan yang suka dan sering mengurai rambut
29. Orang yang suka dan sering tidur berselimut kain sarung.
30. Orang yang suka duduk dengan menggoyang-goyangkan kaki (edheg Jw.)
31. Orang yang sering bersiul-siul di sembarang tempat
32. Orang memotong kuku di malam hari
33. Orang memotong kuku dengan menggigit.
34. Orang yang dalam pembicaraan sering dan suka bersumpah
35. Orang yang suka memungkiri miliknya sendiri, walaupun hanya basa-basi
36. Orang yang membuang sampah di kolong tempat tidur
37. Orang yang membuang sampah lewat jendela rumah
38. Orang yang sengaja membakar rambut
39. Orang yang sengaja membakar tulang
40. Orang yang sengaja membakar kulit bawang
41. Orang yang sengaja membakar daun kelor
42. Orang yang sengaja membakar kulit kayu dadap
43. Orang yang sengaja membakar sapu using
44. Orang yang membuang kutu hidup-hidup
45. Orang yang memanjat pohon di saat tengah hari
46. Orang yang memulai tidur waktu pagi
47. Orang yang tidur waktu tengah hari
48. Orang yang tidur saat matahari terbenam
49. Orang yang tidur masih dalam busana lengkap ( bukan pakaian tidur)
50. Orang yang menepuk-nepuk perut pada malam hari
51. Orang yang suka memukul-mukul wadah (apa saja)
52. Orang yang makan sambil tiduran
53. Orang yang makan sambil berjalan
54. Orang yang makan selagi nasi masih panas
55. Orang yang makan pada waktu malam hari tanpa lampu
56. Orang yang makan dalam rumah kosong.
57. Orang yang menyimpan piring sehabis dipakai tanpa dicuci.
58. Orang yang makan di tempat tidur
59. Orang yang tidak mencuci tangan sehabis makan pakai tangan.
60. Orang yang mengandangkan ternak  ( sapi, kerbau dsb.) di dalam rumah
61. Orang yang suka duduk di atas bantal
62. Orang yang suka mengusap wajah atau bibir dengan kain sarung atau baju
63. Orang yang  melepas bungkusan hanya dengan cara merobek
64. Orang yang menggunakan ruang dapur untuk tempat hajatan temantin.
65. Orang yang menimang-nimang anak waktu malam, padahal si anak tidak rewel ataupun sakit
66. Orang yang mencium anaknya yang sedang tidur
67. Orang yang menyimpan batu pualam  dalam rumah tanpa dibungkus
68. Orang yang mengembangkan payung di dalam rumah.
69. Orang yang memanggil orangtuanya dengan hanya menyebut namanya (njambal)
70. Orang yang mengerjakan pekerjaan kasar sampai matahari terbenam belum mau selesai.
71. Orang yang membuat sayur dengan daun cabe (lombok)
72. Orang yang menanam pohon pisang di depan rumah
73. Orang yang menggunakan bekas sanggar sebagai rumah tinggal
74. Orang yang menggunakan bekas kedai/kios, kandang atau dapur berpintu sebagai rumah tinggal.
75. Orang membakar dupa pada malam hari naasnya. 
76. Orang yang memiliki tempat penimbunan sampah dekat rumah
77. Orang yang pernah menggulingkan tempat menanak nasi ( dandang) dari atas tungku , kalau  
      sekarang rice cooker misalnya).
78. Orang yang menaruh dandang di atas tungku sebelum mencuci beras. (kalau sekarang silahkan 
      ditafsir sendiri)
79. Orang yang mematahkan gandik atau pipisan (kalau sekarang orang yang merusakkan alat 
      kerjanya sendiri/orang lain)
80. Orang yang tidak pernah membakar dupa, membuat sesaji / menghormat leluhurnya (sesuai  
      keyakinan masing-masing) ……..dst.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

PROSESI RUWAT SUKERTO MURWOKOLO
Prosesi Ruwatan Sukerta Murwokolo ini dimulai dari rumah/tempat tinggal masing-masing peserta dan hendaknya seluruh keluarga (ayah/ibu/nenek/kakek) ikut serta mendukung prosesi ini secara keseluruhan. Bagi peserta yang sudah menginjak masa remaja maupun dewasa dianjurkan melakukan LAKU TARAK seperti tersebut di bawah ini, demikian pula bagi kedua orang tua peserta.


I. LAKU TARAK  

Guna mendukung terkabulnya makna ruwatan , maka dianjurkan dengan sangat kepada orang tua / wali serta peserta ruwatan (bagi yang telah dewasa)  untuk melaksanakan laku tarak yaitu tidak memakan  daging , ikan dan telur (semua yang berjiwa) selama tujuh hari menjelang hari pelaksanaan Ruwatan (hari H).

Apabila pendaftaran dilakukan terlambat karena sesuatu hal (misalnya kurang dari 7 menjelang hari H) , maka sebagai alternatif , dapat dilakukan Mutih (makan hanya nasi saja tanpa lauk pauk) selama 3 (tiga) hari menjelang hari H.

Dan apabila pendaftaran sangat terlambat , maka sebagai alternatif dapat dilakukan puasa sehari semalam (24 jam) menjelang hari H.

Selama melaksanakan laku tarak/mutih/puasa tersebut dianjurkan pula untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME (memperbanyak sembahyang /sujud /samadi) sesuai dengan keyakinan masing-masing

 
II. PERSIAPAN DI RUMAH PADA HARI H. 

Sebelum berangkat menuju ke tempat Ruwatan hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a.    Siram Jamas: para orang tua /wali serta peserta ruwatan hendaknya melaksanakan Siram Jamas (mandi bersih disertai       keramas), sambil selalu ingat dan dalam hati memohon ampunan kepada Tuhan YME.

b.    Peserta mengenakan busana ruwatan (busana Sukerta)


c.    Acara Sungkeman: Para peserta wajib melaksanakan sungkem (berjongkok mencium lutut sambil mohon maaf dan restu) kepada kedua orang tua /wali, kalau ada juga kepada kakek/nenek atau bibi/paman yang ada di rumah itu. Acara ini harus dilaksanakan secara hikmat dan penuh penghayatan dan keikhlasan.
Setelah acara sungkeman selesai dilaksanakan barulah peserta beserta keluarga (ayah/Ibu atau yang lain) berangkat bersama-sama ke tempat Sanggar Pangruwatan (tempat acara Ruwatan diselenggarakan)  


III. TENTANG BUSANA SUKERTA 

Sebaiknya bagi kedua orang tua/wali (yang punya hajat ngruwat) yang mengantar peserta ruwatan mengenakan busana Kejawen ( pakaian adat Jawa). Jika tidak ada , boleh berpakaian apa saja  asal bersih , baik dan sopan.
Adapun bagi peserta ruwatan yang wajib dikenakan antara lain :

a.    Peserta ruwatan Pria Dewasa :

Baju kemeja lengan panjang warna putih, bawah/dalam celana panjang bersih warna bebas, dibalut bebet kain mori putih ± 2 meter (sebaiknya diwiru), tali/ikat pinggang dari kain mori putih.

b.    Peserta ruwatan Wanita Dewasa :

Baju kebaya warna putih, bawah kain mori putih ± 2 meter (sebaiknya diwiru) , ikat pinggang juga kain mori putih.

c.    Peserta belum dewasa :

Baju lengan panjang warna putih , bawah dibalut kain mori putih diatur seperti bebet,  dengan ikat pinggang juga dari kain mori putih ,dalamnya pakai celana pendek/panjang yang bersih.
    
Catatan: Semua bahan yang berupa kain mori putih tersebut di atas setelah selesainya upacara ruwatan (yaitu setelah peserta diijinkan ganti pakaian), dibungkus rapi (dimasukkan kantong plastik) selanjutnya bisa dibawa pulang (sebagai barang kenangan) atau diserahkan kepada petugas penerima untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan.

             Acara ganti pakaian tersebut dilakukan setelah selesainya acara Tigas Rikma (pemotongan rambut peserta oleh ki Dalang)

IV. PROSESI DI SANGGAR PANGRUWATAN
-  Para Peserta Ruwatan yang hadir segera mendaftarkan diri dan masuk ke dalam sanggar untuk segera mengenakan busana sukerto sesuai ketentuan.
-  Para Peserta Ruwatan duduk berkumpul dengan khidmad bersama peserta yang lain
-  Para Peserta diajak berdo'a bersama dipimpin seorang Sesepuh untuk memohon kepada Tuhan YME sesuai keyakinan masing-masing sampai selesai.
-  Para Peserta melaksanakan perjalanan menuju tempat duduk masing-masing dipandu seorang sesepuh dengan mengikuti irama gamelan pengiring.
-  Setelah pada duduk, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia, yang kemudian dilanjutkan dengan acara Sungkeman oleh para Peserta kepada orang tua masing-masing.
-  Selesai acara Sungkeman, Ketua Panitia menyerahkan Gunungan kepada ki Dalang untuk segera melaksanakan Pagelaran Wayang Kulit dengan Cerita Murwokolo, para peserta diharapkan dengan tenang dan khidmad mengikuti seluruh alur cerita maupun wejangan-wejangan dan pembacaan Mantera-mantera oleh Ki Dalang.
-  Para Peserta diperbolehkan menyantap hidangan yang disediakan setelah mendapat aba/perkenan dari Pembawa Acara / panitia
-  Selesai Pagelaran Wayang Kulit, para Peserta wajib mengikuti acara Siraman Air Kembang Setaman (yang telah dimanterai oleh Ki Dalang), dilanjutkan Acara Tigas Rikma ( pemotongan rambut) oleh Ki Dalang
-  Para Peserta mengikuti acara Menarik Kupat Luar yang dilakukan oleh Orang tua atau Panitia yang mewakilinya bersama ki Dalang
-  Para Peserta diperkenankan melepas Busana Sukerta (berupa kain mori putih) yang kemudian dibungkus rapi untuk nantinya dibawa pulang sebagai kenangan atau bisa juga diserahkan kepada petugas penerima untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan.
-  Acara dilanjutkan dengan Murak Sesaji / perebutan sesaji (sajen), sebagian yang berupa makanan atau buah-buahan bisa dimakan di tempat, lainnya silahkan dibawa pulang. Sajen ini disiapkan sebelum acara dimulai dan untuk memahami bahan apa saja yang disiapkan sebagai sesaji bisa Anda klik ...
SAJEN RUWATAN
-  Para Peserta  akan mendapat air bunga (Tirta Sekar Setaman) yang sudah dimasukkan dalam botol untuk dibawa ke rumah masing-masing
-  Para Peserta mendapat Piagam Penghargaan
-  Acara selesai

V. MENGAKHIRI RUWATAN DI RUMAH

       Setibanya di rumah masing-masing , air bunga (Tirta Sekar Setaman) yang didapat dari tempat ruwatan (setiap keluarga peserta ruwatan akan mendapat bagian) dituangkan semua ke dalam ember besar atau bak mandi yang berisi air secukupnya.

     Selanjutnya baik orang tua/wali maupun para peserta ruwatan mengguyur dirinya masing-masing dengan air kembang tersebut (mulai dari kepala sampai kaki) , yang dilanjutkan dengan mandi keramas dan mandi biasa sampai bersih.

     Demikianlah acara ruwatan diakhiri dengan ungkapan rasa syukur dan panjatan doa semoga niat untuk menyingkirkan semua kesialan/was-was/ kesulitan hidup sebagai akibat kondisi yang disandang para penyandang sukerta , dapat terkabul atas kehendak Tuhan YME.


PROSESI TERSEBUT DI ATAS BISA BERUBAH SESUAI DENGAN  KONDISI SITUASI DAN HASIL KESEPAKATAN PANITIA DAN  PETUGAS RUWATAN (KI DALANG)
 
Mantram/mantra yang sering dibawakan Ki Dalang sewaktu bertugas menggelar lakon Murwokolo :

Mantram atau mantra merupakan aspek yang terpenting dalam upacara ruwatan. Mantra dapat diartikan sebagai perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan daya ghaib. Mantra yang diiringi dengan bunyi-bunyian aatau alat musik menurut masyarakat pendukungnya akan mampu membersihkan dosa seseorang yang akhirnya kembali menjadi suci seperti manusia lainnya. Itulah sebabnya setiap upacara ruwatan pembacaan mantram merupakan hal yang pokok dan sakral.

Ada berbagai macam versi mantram dalam upacara ruwatan. Namun babon pangruwatan yang sering digunakan oleh para dalang adalah Murwakala, menurut babon pedhalangan Kyai Panjangmas seperti yang ditulis dalam Cebolang atau Suluk Tambangraras pada jaman Paku Buwana V (1820 – 1823) di Surakarta. Dalam serat Cebolang itu menyebutkan jumlah mantram yang diucapkan  oleh Ki Dalang terdiri dari 13 macam. Dari berbagai versi mantra ruwatan, mantra pokok yang harus diucapkan adalah; sastra dahi (caraka balik), sastra pedati (sastra dada), sastra telak, dan sastra gigir. 

1.      Jantur Wa Kala Mur

Awighnam astu namas idem

Kala awang-awang ana bumi langit, nanging Sang Hyang Wisesa ingkang kocap sarta jumeneng samadi satengahing jagad. Sang Hyang Wisesa mireng swara kadi genta, sarta anon tigan, gumantung neng awang-awang, sinangga ngasta pinusti dadi telung prakara, saprakara dadi bumi langit, rong prakarane dadi teja lan cahya, katigane Manik Maya. Mangka Manik dadi papat. Mangka papat iku ming Batara Guru uger-ugere, kang pinangka gegentene Sang Hyang Wisesa, Winenang andadekake isining bumi, sarta Winesik saliring Wadi.

Mangka sasirnaning (samuksane) Sang Hyang Wisesa, Batara Guru akarya tetimbangan garwa wasta Dewi Uma, nunten ayoga para dewa 30 lan sarta sajodone. Nunten bumi pisah lan akasa. Hyang Pramesti nunten amatah dewa nawa sanga amrih jejeging bumi, sarta gunung Jamurdipa wus warata. Nunten Batara Guru ayasa kahyangan lan kaswargan, lan saisine. Mangka Sang Hyang Pramesti anyatekaken  jenenging lanang lan wadon, lan garwa Dewi Uma, reta kerut tan ketadhahan, mila wonten Batara Kala Hyang Pramesti adeduka mring garwa Dewi Uma, mila wonten Batari Durga jodo lan Kala. Nunten Hyang Guru anitahaken rejaki Marcapada Mendang Kamulan. Mila Batara kala minggah mring Suralaya saputra garwa balane.

2.       Sampurnaning Puja

Hong prayoganira Sang Hyang, Akasara lawan Pratiwi; mijil yoganira Sang Hyang, agilang-gilang ing siti; binu aneng samodra, kumanang alembak-lembak; ana daging dudu daging, ana getih dudu getih; murub mangarab-arab; anekaken prabawa, ketug lindhu lan prahara; lesus agung aliweran, geter pater tanpa tara; murub ingkang Kala Rodra, gumesang aneng Triloka; nguniwah Batara Guru, Awignam astu na purnama sidi, Hong na muna maswahah.

3.      Santi Purwa

Hong Ilaheng dinuk aku, purwanira ring pustaka. Ginutuk ing Padmackra, ya ta pinangka sirahmu. Ginutuk ing Kurameyan, ya ta kang dadi rambutmu. Ginutuk sireng Panelan, ya ta pinangka bathukmu. Ginutuk ing Rengaswastra, ya ta kang dadi aslimu. Ginutuk ing Rengaswastra ya ta kang dadi idepmu. Ginutuk ing Suryakanta, ya ta kang dadi netramu. Ginutuk sireng ing Kilat, ya ta pinangka kedepmu. Ginutuk sireng Manila, ya ta kang dadi kupingmu. Ginutuk sireng Momaka, ya ta kang dadi pipimu. Ginutuk sireng Penoyan, ya ta pinangka pasumu. Ginutuk ing Langkapwastra, ya ta kang dadi tutukmu. Ginutuk ing Rejawastra, ya ta kang dadi untumu. Ginutuk ing Wajalidah, ya ta kang dadi ilatmu. Ginutuk sireng Penawan, ya ta pinangka telakmu. Ginutuk ing Wajasumeh, ya ta pinangka janggutmu. Ginutuk Sidang penawan, ya ta pinangka uwangmu. Ginutuk ing Wesipanggak, ya ta kang dadi gulumu. Ginutuk Wesigulmara, ya ta kang dadi baumu. Ginutuk sireng Candrasa, ya ta pinangka tanganmu. Ginutuk ing Palempengan, ya ta pinangka salangmu. Ginutuk ing Ambalwastra, ya ta pinangka dadamu. Ginutuk Sarwasenjata, ya ta kang dadi igamu. Ginutuk  sireng Padupan, ya ta pinangka atimu. Ginutuk sireng Genitri, ya ta kang dadi amperumu. Ginutuk ing Sandiwidi, ya ta kang dadi jantungmu. Ginutuk Segara rampenan, ya ta pinangka wetengmu. Ginutuk sireng Lulita  ya ta pinangka ususmu. Ginutuk ing Rancangwastra ya ta pinangka ototmu. Ginutuk ing Wajasari, ya ta pinangka balungmu.

Ginutuk Pancurancah, ya ta pinangka dakarmu. Ginutuk ing Bakawastra, ya ta kang pinangka wangkongmu. Ginutuk sireng Deksana, ya ta kang dadi pupumu. Ginutuk ing Bindiwastra, ya ta pinangka garesmu. Ginutuk ing wajakiwal, ya ta kang dadi sikilmu. Ginutuk ing gunung waja, ya ta pinangka awakmu. Ginutuk ing Gorawastra, ingkang pinangka gedhemu. Ginutuk ing Bramawastra, ya ta pinangka napsumu. Kumejot molah ambekan, angdeg-kagiri-giri; awakmu wegah anuger, asalit ajata gimbal; angerik anguwuh-uwuh, sira mulat amangetan; sakyehning para jawata, kagegeran dening sira, awedi ndeleng rupamu, aranmu si Kama Salah. Awighnam astu na purnama sidi. Hong na muna maswahah.

4.      Aksara/sastra ing Bathuk

Nga                 Tha                  Ba                   Ga                   Ma

Nya                  Ya                     Ja                  Dha                 Pa

La                    Wa                  Sa                    Ta                    Da

Ka                   Ra                   Ca                   Na                   Ha

5.       Aksara/sastra ing Telak

Sang Kala Lumerang, sangkaning lara, Wisnu kena ing lara, lungguh ing otot ngarepmu, kang alara mulya, mulya dening Batara Guru, Guru kena ing lara, lungguh ing tutuk, turune lumamah, lan saranduning awak, kang alara mulya, mulya dening Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wenang tan kena ing lara, maring Sang Hyang Tunggal, kumpul panunggaling rasa, rasa tunggal lan jati, jati tunggal lan rasa, rasa jati mulya, mulya saking ingkang Wisesa. Hong awignam astu namas idem.

6.       Sastra kang ana ing Dhadha

(aran: Sastra Pinedati)

Hong Ilaheng, saweddana Durga Kala; saweddana Kretidara, tumurun aku ring maja; awor ring dewata muja, aji Sang ati-ati; Amarajata ajiku,  Aamaraja ta wuwusku; Amaraja Jaramaya, Aamarni Rinumaya, Yasiraya Pararasiya, Amidosa Sadumeya; Amidoro Rodomeya, Yami dosa sadumeya, Yasiyaya Palasiya, Yasirapa Rahasiya, Yasipapa Parasiya, Amidosa Sadumeya, Nawanggana Nawanggeni, si Kutara si kulari; si Brenggala si Brenggali, si Bitapa si Betapi, si Bintaka si Bintaki, si Durbala si Durbali, si Rumaya si Rumayi, si Ujaya si Ujayi; si Srimaya Gedahmaya, si Dayudi si Dayuda; Adiyoda Aniyoda, Andayudi Niudaya, Hong na muna waswahah.

7.       Sastra Trusing Gigir

Hong yoganira, Sang Hyang Pratiwi mijil, kumala Batari Uma, mijil saking ilmu-ilmu; angusap sariranira, mijil ta Sang Hyang kusika, mijil ta Batara Gagra, saking balung kamulanya, ana kang Batara Metri, saking otot kamulanya, mijil Sang Hyang Pritanjaya, saking sungsum mulanira.

Kinen agawe lokasa, Kusika mila alumeh, tinut denira Sang Gagra, Hyang Gagra milu alumeh, tinuti Sang Hyang Kurusa, Kurusa milu alumeh, tinut dene Sang Hyang Metri, Hyang Metri milu alumeh teher mijil ta wikalpa, neher ingapat-ipatan; Kusika mesat mangetan, atemahan dadi emong, Hyang Gagra mesat mangidul, atemahan dadi sarpa, Kurusa mesat mangulon, atemahan dadi buta; Hyang Metri mesat mengalor, atemahan dadi dengen, Kuneng Sang Hyang Pritajala, ingkang kinen gawe loka; angenjali ring Batara kang riwe arereweyan; dinilat arasa asin, atemahan dadi uyah, Kuneng tang Batari Uma, singangsa sinungsang; anjerit angrik anguwuh, aselit ajata gimbal; nguniweh Batari Durga. Hong na muna maswahah.

8.      Santi Kukus

Hong, Purwa yanti yogya yanti, kaget Hyang Mandalagiri, sinurak para jawata, amijilaken kasakten; ana banyu teka wetan, aputih mili mangulon, angileni Batari Sri, Guru warda wardi dadi. Hong, Purwa yanti yogya yanti, kaget hyang Mandalagiri; sinuruk para jawata, amjilaken kasekten; ana banyu teka kidul, abang mili mangalor; Batari Sri. Guru warda wardi dadi. Hong, Purwa yanti yogya yanti, kaget Hyang Mandalagiri; sinurak para jawata, amijilaken kasekten, ana banyu teka kulon, kuning amili mangetan, angileni Batari Sri, Guru warda wardi dadi. Hong, Purwa yanti yogya yanti, kaget, kaget Hyang Mandalagiri; sinuruk para jawata, amijilaken kasekten; ana banyu teka elor, ireng amili mangidul; angileni Batari Sri, Guru warda wardi dadi. Hong na muna maswahah.

9.      Bala Srewu

Hong, Ilaheng pinangka ranku, iya Sang Hyang Candusekti; iya Sang ila-ila, santi guna ila warna; Sang Hyang Ayu palungguhku, sang Hyang Taya pangadegku, naga raja ing dhadhaku, naga milet ing guluku guwa rungsit ing cangkemku geter-geter panabdaku, gelap ngampar suwaraku, iduku tawa sakalir, netraku sang surya kembar, kilat barung ing cahyaku, Durga Durgi ngiring aku, Sang Kala rumekseng aku; buta kabeh ring omahku kaomahan dengen kabeh; kang sun deleng padha lengleng, sik tak pandeng teka bengeng. Hong na muna maswahah.

10.   Banyak Dhalang

Hong, Pasang tabe, sun angidung, kidungku si Banyak dhalang, ngendi nggonira alinggih, Raja sang Kumintir-kitir, amreteng sira praknya, angupita nara wangsa, gendera pinatu barang, ulung kenyaring prasada, sira kaki atang hiya, angadega wringin sungsang ameranga ampel gadhing tugelen gawenen sanggar, sanggar-sanggar pangruwatan, pangruwatan ujar ala, angruwat sara supata, sapataning sanak tuwa, angruwatan supataning wong atuwa, angruwata sagunging mala cintraka, angruwata lara raga, laragung lara wigena, gelah telutuh ilangah, katuta ing barat lesus, lebur ajur muksa ilang, ilang, saking tan ana. Hong na muna maswahah.

Hong, Latak rowang marang sendhang, sendhang si Manadala, manadalane wong mengari, anake Ki Ulangkembang, kudu bisa ngaji, dukuhe Ki empu ana, bale tanpa galar, ana ta kang sumur bandung, timba kepala, tetali ususing maling, siwur burut tanpa kancing, garane winado-aji, sulur kamudi waringin, banyune ludira muncar, iline mangetan, ala-ele katuta ing banyu mele, lebur ajur musna ilang.

Hong, Latak rowang, ana jaka amet kembang, amemenek angutapel den kebaki jejompange anon si perawan liwat, dinulu rupane ayu, perawan angaku rara, lah ta mara ing rerawan, anonton kintel muni, ting ceremplang ting ceremplung, agiro kang kodhok wiyo, tingkahe srangkal-srangkal, sejane arep mauta, anuata lara roga, laragung wigena, tetangga yen angrungokna, wong angidung Banyak dhalang saben dina tampa dadar, yen ana perawan tuwa, utawa jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, yen ana wong gering kedadak, dumadakan gelis mulya, yen ana kang neja, amundur tanpa karana, sampurna ing Banyak dhalang, kang angidung temah sampurna.

Hong, Latak rowang mring bengawan, anontonlarung keli, larunge si banyak dhalang, loro sanake den larung, ing benjang ing Jamurdipa, akuta ing Kurayana, ana manuk cucuk waja, anucuka larung keli, iberna gawanen lunga, awighnam astu na purnama sidi. Hong na muna maswahah.

11.   Padusaning Kala

Tanjung adus banyu ning, banyu mijil ing talaga manik, Uma kang ngedusi, Durga kang ngosoki, Wisnu kang angentas.

12.  Wisikaning Kala

Kala den eling sira, sira muliha mring Jati-sorangan; asalira teka ngora, sira muliha menyang ngora; asalira teka ing jati, iya muliha maring jati; Ingsun Sajatining Wisesa.

13.   Kudanganing Kala

Hong, Anake Bi Kurameyan. Agedhe asesedepah, Bang bang bus, pastika maya-maya, ana maya-maya katon, kang anonton milu katon kang tinonton ora katon.

Byang-byang byos, golong-golong gumelompong, gulung-gulung gumelumpung. Hong na muna maswahah.

Demikianlah mantra ruwatan yang digunakan untuk meruwat (membersihkan dosa) seseorang yang termasuk dalam golongan orang sukerta.Top of Form

Bottom of Form

 

 

 
 
 

4 komentar:

  1. Setelah Anda membaca uraian di atas kemudian tertarik untuk mengikuti atau mengikutsertakan putra/putri Anda dalam acara Ruwatan Sukerta Murwakala, maka selanjunya dipersilakan untuk mengklik gambar Rajah Kala cakra di sudut KIRI ATAS halaman ini. Terima kasih

    BalasHapus
  2. Tahun 2018-2019 berbarengan dengan tahun 1952 Jawa, adalah saatnya bangsa Indonesia memilih Wakil-wakilnya di DPR dst, juga tahun pemilihan Presiden. Tahun 1952 Jawa saya tandai dengan Candra Sengkala "LUMAKU TATA GANDANING NATA" , hanya Pemimpin yang perilakunya tertib/disiplin/konsisten/jujur disamping cerdas yang akan kita pilih... RAHAYU.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Tahun Baru 1956 Jawa, tahun Ehe, windu Sancaya, ini saya tandai dengan kalimat "Osiking nDriya Hambuka Budi" mengandung makna bahwa hendaknya seluruh perbuatan kita yang berasal dari adanya kinerja pancaindera hendaknya diupayakan agar semakin membuka kesadaran kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME Mari kita lakukan segala kehendak dan perbuatan dalam kehendak-Nya,

    BalasHapus