Uwas iku Tiwas ! Begitu salah satu sabda suci yang terlontar tegas dari leluhur kita. Uwas dalam bahasa Jawa berarti kuatir atau ragu, Tiwas berarti celaka atau bahkan mati. Sedemikian tegasnya kalimat itu diungkap tentunya bukan tanpa sebab. Kita semua tahu bahwa keraguan atau kekuatiran adalah salah bentuk ketidak percayaan kita terhadap sesuatu. Di satu sisi memang seseorang terkadang perlu meragukan dan menguatirkan untuk melakukan suatu tindakan guna mewujudkan kehati-hatian, namun hal tersebut juga bisa berakibat membatalkan tindakan tersebut sama sekali. Di sisi lain keraguan ataupun kekuatiran akan sesuatu justru dapat menyebabkan tidak fokusnya perhatian kita terhadap hal-hal lain yang sedang kita hadapi yang justru dapat mencelakai diri kita sewaktu-waktu.
Kekuatiran apabila dinilai dari sisi spiritual dapat juga sebagai pengukur sebesar apa keyakinan kita kepada Tuhan YME. Semakin kita banyak kuatir maka semakin tipislah keyakinan/Iman kita terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Melindungi dst.
Perihal rasa kuatir itu sendiri dapat muncul sewaktu-waktu atau bahkan sepanjang waktu apabila ada sesuatu kejadian yang kita anggap tidak/kurang wajar atau bahkan dari sesuatu yang istimewa. Contohnya pada anak yang terlahir cacat sejak lahir, siapapun yang terkait keluarga dengannya (Ayah, Ibu, saudara, Kakek, Nenek dst.) pasti akan menguatirkan segala gerak-geriknya sehari-hari termasuk kehidupannya di masa depan. Kekuatiran yang kemudian menimbulkan tindakan positip misalnya langsung memberikan fasilitas untk mengganti/ memenuhi segala kekurangan bagi si cacat sekalian memberikan pelatihan-pelatihan, sehingga si cacat mampu melakukan hal-hal sebagaimana orang yang tidak cacat, maka hal semacam itu akhirnya akan menghilangkan rasa kuatir keluarga, apalagi jika yang bersangkutan bahkan mampu memperlihatkan kelebihan-kelebihannya. Sebaliknya, dari kekuatiran itu pula mungkin yang timbul adalah tindakan-tindakan baik hati misalnya selalu menjaga agar si cacat tidak terjatuh, malah kalau bisa tidak usah bergerak, semua kebutuhannya ditolong/dilayani. Akibatnya si cacat untuk seterusnya tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa pertolongan orang lain, dan bahkan mungkin akan mudah terkena bencana/sial apabila tanpa orang lain di sisinya.
Bagi orang Jawa, upaya untuk menghapus rasa kuatir tersebut diawali dari mendeteksi akar penyebabnya yaitu kondisi sejak lahir, kondisi saat masih kecil sampai remaja ataupun peristiwa-peristiwa unik dan tidak biasa, yang dialami oleh seseorang dalam kehidupannya. Para penyandang rasa kuatir (penyandang penyebab kesialan) tersebut disebut Janma Sukerta, yang dianjurkan untuk mengikuti acara ritual Ruwatan Sukerta.
Dengan lenyapnya segala bentuk kekuatiran/keraguan diharapkan munculnya generasi yang penuh percaya diri serta penuh yakin akan adanya Tuhan YME yang telah menciptakan segalanya sekaligus memproses keseluruhannya menuju arah kesempurnaan tanpa batas.
Bagi pembaca yang berminat mengikuti atau mengikut sertakan putra/putrinya dalam Ruwatan Sukerta Murwokolo tahun ini silahkan klik di sini
Kekuatiran apabila dinilai dari sisi spiritual dapat juga sebagai pengukur sebesar apa keyakinan kita kepada Tuhan YME. Semakin kita banyak kuatir maka semakin tipislah keyakinan/Iman kita terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Melindungi dst.
Perihal rasa kuatir itu sendiri dapat muncul sewaktu-waktu atau bahkan sepanjang waktu apabila ada sesuatu kejadian yang kita anggap tidak/kurang wajar atau bahkan dari sesuatu yang istimewa. Contohnya pada anak yang terlahir cacat sejak lahir, siapapun yang terkait keluarga dengannya (Ayah, Ibu, saudara, Kakek, Nenek dst.) pasti akan menguatirkan segala gerak-geriknya sehari-hari termasuk kehidupannya di masa depan. Kekuatiran yang kemudian menimbulkan tindakan positip misalnya langsung memberikan fasilitas untk mengganti/ memenuhi segala kekurangan bagi si cacat sekalian memberikan pelatihan-pelatihan, sehingga si cacat mampu melakukan hal-hal sebagaimana orang yang tidak cacat, maka hal semacam itu akhirnya akan menghilangkan rasa kuatir keluarga, apalagi jika yang bersangkutan bahkan mampu memperlihatkan kelebihan-kelebihannya. Sebaliknya, dari kekuatiran itu pula mungkin yang timbul adalah tindakan-tindakan baik hati misalnya selalu menjaga agar si cacat tidak terjatuh, malah kalau bisa tidak usah bergerak, semua kebutuhannya ditolong/dilayani. Akibatnya si cacat untuk seterusnya tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa pertolongan orang lain, dan bahkan mungkin akan mudah terkena bencana/sial apabila tanpa orang lain di sisinya.
Bagi orang Jawa, upaya untuk menghapus rasa kuatir tersebut diawali dari mendeteksi akar penyebabnya yaitu kondisi sejak lahir, kondisi saat masih kecil sampai remaja ataupun peristiwa-peristiwa unik dan tidak biasa, yang dialami oleh seseorang dalam kehidupannya. Para penyandang rasa kuatir (penyandang penyebab kesialan) tersebut disebut Janma Sukerta, yang dianjurkan untuk mengikuti acara ritual Ruwatan Sukerta.
Dengan lenyapnya segala bentuk kekuatiran/keraguan diharapkan munculnya generasi yang penuh percaya diri serta penuh yakin akan adanya Tuhan YME yang telah menciptakan segalanya sekaligus memproses keseluruhannya menuju arah kesempurnaan tanpa batas.
Bagi pembaca yang berminat mengikuti atau mengikut sertakan putra/putrinya dalam Ruwatan Sukerta Murwokolo tahun ini silahkan klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar