Selasa, 24 Juni 2025

Satu Suro 1959 Jawa

Hadir di tahun Ehe windu Kuntara 1959 Saka Jawa, Suro tahun ini memang agak istimewa, dunia sedang heboh dengan perang di Timur tengah, baik antara Rusia dan Ukraina maupun antara Israel dan Palestina yang segera melebar ke Iran, Qatar serta Irak dan entah negara yang mana lagi.... prediksinya secara umum adalah meletusnya Perang Dunia ke III entah jadi apa tidak tinggal tunggu saja berita berikutnya. Belum lagi konflik-konflik lain yang muncul tanpa diduga, seperti konlik antara India dengan Pakistan, Thailand dengan Kamboja dan lainnya.

Dalam negeri sendiri tak kalah heboh,  walaupun Pemilu di semua level udah selesai dan tuntas dengan pelantikan Presiden dan Wakilnya, namun luka-luka kecewa di hati para golongan yang kalah sampai detik inipun belum sembuh, dan ini terbukti dengan dimunculkannya isu-isu pemakzulan Gibran, ijazah palsu maupun skripsi palsu dan lain sebagainya yang tak kunjung reda apalagi selesai.

Selain hebohnya kondisi yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri, ternyata alam pun tak henti-henti memberikan bencananya dimana-mana sehingga semakin menambah penderitaan bagi kehidupan. Cuaca ekstreem, gempa bumi, tanah longsor, banjir, rob, tsunami, angin topan, tanah bergerak, gunung meletus dan masih banyak lagi macam bencana bisa terjadi kapan saja dan di mana saja di bumi ini. Dunia sedang tidak baik-baik saja.......

Di kehidupan sosial pun tak kalah heboh... kembali munculnya Covid-19 yang bulan Juni ini sudah merambah Jogya, terjadinya resesi ekonomi global ditandai dengan terjadinya badai PHK di banyak perusahaan, banyak mall bangkrut, beberapa bank memilih tutup, menurunnya daya beli masyarakat karena harga barang-barang merangkak naik. Semua itu semakin mengkuatirkan...

Mengamati semua yang terjadi, sebagai seorang warga penghayat kepercayaan yang begitu tinggi keyakinannya terhadap Tuhan dengan ke Maha Kuasa-anNya, maka sikap yang akan muncul adalah seperti tersirat dalam tembang di bawah ini......

DHANDHANGGULA  SURA 1959 (Hambukani Pranatan Trus  Nyawiji)

Hangleliling jumedhuling warsi

Sewu sangang atus seket sanga

Kang bakal tumeka kiye

Sajak kebak bebendhu

Kang tumiba ing bumi neki

Sawernaning prahara

Luber cacahipun

Krodha ing sawayah-wayah

Tan milah panggonan tlatah miwah janmi

Nuliya padha waspada

 

Pratandhane jaman kang gumanti

Winiwitan reresik ing raga

Dhimen suci kahanane

Marna kukum kang baku

Salah seleh akeh dumadi

Serik kadenangan

Juti sirna sampun

Kahananing alam Donya

Bosak-basik rinusak karsaning Widhi

Sigra nyuwun ngapura

 

Siji Sura ing warsi puniki

Hambukani pranatan sarwa anyar

Kanggo lelakon ing tembe

Nulya padha sumuyut

Sujud mnembah pasrah ing Gusti

Kang masesa jagad

Miwah isinipun

Cumadhong ing Tuntunan-Nya

Mujudken manunggaling kawula Gusti

Rahayu wusananya


Jumat, 09 Mei 2025

Sikap seyogyanya bagi seorang Penghayat Kepercayaan thd Tuhan YME

Perjalanan panjang sejarah penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME (selanjutnya sebut saja penghayat) di negeri kita ini mungkin telah ada sejak manusia pertama tercipta di bumi ini atau setidaknya sejak peradaban manusia mulai tumbuh, mengalami gelombang pasang surut yang tiada henti dari waktu ke waktu sebagaimana keberadaan manusia itu sendiri baik secara fisik maupun secara rasio maupun kejiwaannya. Kelompok-kelompok Penghayat ini berkembang sesuai jamannya, semakin lama semakin banyak jumlah maupun macamnya karena semakin berkembangnya gagasan dan munculnya ajaran-ajaran /wahyu baru sesuai kebutuhan jaman yang menopangnya. Ada yang menyatakan telah ada sejak 10.000, 4000 atau 3000 tahun SM, ada yang menyatakan sejak sepuluh abad SM, semua didasarkan fakta sejarah yang bisa dipercaya karena cukup otentik.

Di jaman penjajahan memang tak pernah terdengar adanya kelompok-kelompok penghayat, yang ada adalah kelompok-kelompok Agama yang tentu saja saat itu mendapat tempat sesuai kepentingan kaum penjajah itu sendiri yang waktu itu membagi masyarakat menjadi 3 golongan strata yaitu nomor 1 golongan Eropa (termasuk si penjajah sendiri) nomor 2 golongan Timur Asing (termasuk semua pembawa Agama dan pemilik strata perekonomian), dan barulah golongan terendah yaitu Pribumi. Di kalangan Pribumi inilah baik itu raja ataupun rakyat jelata merupakan tempat berkembangnya Agama Leluhur atau Agama Lokal yang tentu saja sangat dibatasi perkembangannya atau kalau perlu malah dimusnahkan. Dari kondisi ini maka tertanamlah di hati para pendahulu kita (walau tidak semua) pendapat bahwa semua yang datang dari luar itu nilainya mesti lebih tinggi atau lebih baik daripada yang ada (dibuat) di negri ini. Sampai hari ini masih banyak orang-orang kita (Jawa) yang berdecak kagum kalau misalnya anaknya bisa berbahasa asing, padahal bahasa Jawa nya sendiri belum pandai. Menyebut nama buah-buahan juga merasa lebih keren kalau ada bau asingya, misalnya pepaya thailand, kurma arab, jeruk siam dsb. Termasuk juga keyakinan, kebanyakan masih lebih memilih keyakinan Agama (yang diakui negara) daripada keyakinan berkepercayaan (agama lokal).

Apakah agama lokal itu memang begitu rendah tingkat keyakinannya, atau mungkin dianggap menyesatkan (seperti sering dikatakan banyak orang), sehingga nantinya akan membawa ke neraka...?

Berbicara tentang keyakinan hendaknya harus hati-hati, sebab segala hal yang diyakini manusia akhirnya akan membentuk perilaku si manusia itu sendiri, bisa menjadi semakin baik tapi sebaliknya juga bisa menjadi semakin jahat makin kejam atau ganas. Apalagi kalau terjebak pada perasaan bahwa pendapatnya atau keyakinannya itu sudah paling benar, seringkali muncul pendapat bahwa yang tidak benar harus dikalahkan atau bahkan dimusnahkan. Ada yang mengatakan bahwa kesadaran semacam itu baru sampai ditingkat 3 demensi. Apakah mereka tidak sadar bahwa Tuhan YME itu menciptakan segalanya itu terbagi jadi dua hal yang selalu bertentangan, ada terang ada gelap, ada kiri ada kanan, ada besar ada kecil, ada laki ada perempuan (kalau binatang ada jantan ada betina), ada indah ada jelek, begitu juga ada baik ada buruk, ada benar ada salah....... jadi ciptaan Tuhan itu..... baik buruk, benar salah adalah di dalam kehendakNya. Nah, jadi kalau kita ingin memusnahkan yang kita anggap salah apakah itu tidak menentang kehendak Tuhan...? Sampai dimana keyakinan kita tentang Tuhan...? Sebagai seorang Penghayat tidak layak jika kita terjebak pada sikap seperti di atas, menganggap diri kita benar dengan menyalahkan yang lain, apalagi dengan menebar kebencian.....

Berbicara tentang etnis, ada yang terjebak pada anggapan bahwa karena ia keturunan suatu kaum atau bangsa tertentu yang mayoritas hidupnya berhasil, maka ia merasa bahwa ia termasuk bangsa mulia dan perlu disanjung oleh kaum atau bangsa lain yang hidupnya lebih menderita atau rendah. Kesadaran semacam ini juga perlu dikoreksi, kenapa ? Kita masing-masing terlahir menjadi manusia saja tidak pernah sengaja apalagi bisa memilih. Semisal kita hidup ini terlahir dari seekor binatang atau bahkan misalnya jadi anak setan sekalipun, tidak mungkin kita bisa mengelak....... Kesadaran bahwa kita ini seorang manusia pun tidak pernah kita ketahui sebelumnya semenjak lahir, baru setelah beranjak dewasa..... tau bahwa kita ini manusia.

Untuk sementara sampai di sini dulu kita berbincang, lain waktu kita sambung lagi.... bagi yang ingin melayangkan pertanyaan  silahkan kontak wa di nomor 0852 5762 4559



Selasa, 21 Mei 2024

Pentingnya Menelusuri silsilah LELUHUR

 


Dalam kebudayaan Jawa khususnya, ada penyebutan istilah untuk nama-nama panggilan sebagai penghormatan kepada yang telah melahirkan pribadi kita masing-masing sebagai manusia Jawa, mulai dari Bapak/Ibu yang melahirkan diri kita, Simbah/Eyang yang melahirkan Ayah/Ibu, Buyut, Canggah, Wareng dst. Dalam budaya Jawa diperkenalkan sampai 18 tingkatan ke atas (sampai Trah Tumerah). Sayangnya bagi kita sekarang pada umumnya, sampai Simbah/Eyang saja yang jumlahnya pasti 4 (dari Bapak 2, dari Ibu 2), jarang kita bisa menyebutkan namanya secara lengkap, apalagi Buyut (8 orang), Canggah (16 orang) dst. 

Secara matematis jika dihitung, sampai ditingkat ke 18 saja (Trah Tumerah), jumlahnya sudah mencapai 262.144 orang yang kalau dijumlah semua dari Bapak/Ayah/Ibu sampai Eyang Trah Tumerah (mereka semua andil dalam melahirkan kita masing-masing) jumlahnya menjadi 524.286 orang, bayangkan jika silsilah itu naik dua tingkat lagi, jumlahnya mencapai satu juta lebih (1.048.576 orang), menjadi sangat mungkin jika kita ini keturunan raja/kaisar, nabi, rasul, pahlawan/syuhada atau orang-orang terkemuka dan terkenal yang lain.

Dalam keyakinan kita sebagai penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME ada satu keharusan untuk memuliakan leluhurnya masing-masing (salah satu kewajiban dasar dalam melakukan pencarian "Sangkan paraning dumadi"). Bagaimana mungkin kita bisa  mewujudkan hal itu jika nama nenek/kakek kita saja tidak tahu....? Apalagi untuk mengenal jasa-jasa mereka...? Celakanya, sebagian malah terlanjur memuliakan leluhur bangsa lain yang sama sekali tidak kita kenal kecuali dari "katanya ......"

Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada mereka yang bergelar Habib (entah benar atau tidak), kebanyakan dari saudara-saudara kami yang Muslim sangat mengelu-elukan mereka sebagai orang yang dianggap masih keturunan Nabi Muhammad SAW, dianggap mereka yang masih keturunan Rasulullah bisa memberikan berkah/safaat bagi kehidupan para pengikutnya. Semua itu tidak ada yang salah karena memang itu yang mereka percayai....

Dalam Al-Kitab banyak tercantum silsilah atau garis keturunan para tokoh baik raja ataupun nabi-nabi dalam banyak tingkatan bahkan sejak Adam pun ada, ini menunjukkan betapa rajinnya mereka mencatat silsilah para leluhur mereka, padahal usia saat itu rata-rata panjang sampai ratusan tahun, sedang bangsa kita yang katanya telah mampu membuat kalender di tahun 911 SM (Empu Hubayun) bahkan ada yang lebih tua dari itu, sekaligus juga tentunya sudah memiliki huruf, ternyata sekarang (hari ini) jarang atau sedikit sekali diantara kita yang mampu mengenal leluhurnya sendiri.

Sehubungan dengan judul di atas penulis juga berusaha mencari tahu keturunan siapakah diri penulis itu sendiri ...? Dengan berbekal data yang ada ditambah dengan ingatan penulis menghimpun informasi dari banyak pihak, termasuk sikap-sikap unik sebagian kecil masyarakat di kampung Jagalan kidul Magetan terhadap penulis saat dia masih kecil, juga cerita-cerita nenek saat itu, juga hasil cross check dengan beberapa web di internet, maka sampailah pada kesimpulan bahwa dari pihak ayah, penulis ini masih keturunan dari seorang kepala desa (wiyoro) di Lorog kabupaten Pacitan bernama Eyang (Canggah) Karyo Menggolo. Adapun dari pihak Ibu penulis masih darah keturunan Eyang (Udheg-udheg) Kyai Gajah Sorengpati yang makamnya di Taman - Madiun yang kalau tidak salah masih keturunan dari Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram Islam, penulis termasuk garis keturunan  ke 14 dari beliau (sebagai Eyang Ampleng). Benar atau salah Wallahu 'alam bi sabab.

Kalau yang di atas itu benar, maka penulis juga keturunan dari Pangeran Nrang Kusumo (termasuk leluhur yang dimuliakan di kota Magetan), dan itu pernah penulis buktikan secara spiritual, selain karena tertulis dalam silsilah.

Nah, apabila  diantara pembaca ada yang tertarik dengan tulisan ini dan ingin memberikan tanggapan, baik berupa kritik maupun saran, penulis bersedia menerima dengan segala senang hati. Hubungi saja wa penulis di nomor 0852 5762 4559 

Rabu, 24 April 2024

Menatap ke depan demi generasi mendatang

     Baru  saja  kita bersama  menyaksikan sekaligus  mengikuti gelaran Pemilu 2024 yang  secara  tuntas  telah   dinyatakan selesai pada hari Senin tanggal 22 April 2024, ditandai dengan selesainya seluruh rangkaian sidang di Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan keputusan final dan bersifat mengikat yaitu ditolaknya seluruh gugatan dari pihak penggugat yang berasal dari kubu 01 dan 03 dan ini berarti bahwa pemenang Pemilu 2024 di Indonesia untuk Pilpres adalah pasangan 02 yaitu Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka. Selamat untuk keduanya !!

     Walaupun pelantikan mereka berdua baru nanti bulan Oktober, namun jelas kita rakyat Indonesia akan mengalami era baru, yaitu era kepemimpinan baru dari mulai presiden dan wakil presiden, para menteri, para anggota DPR/DPRD yang akan dilanjutkan dengan pergantian para kepala daerah di seluruh negeri. Bisa saja pergantian kepemimpinan akan menimbulkan banyak pergantian kebijakan, artinya bahwa berbagai peraturan pun akan mengalami perubahan. Walaupun semua macam perubahan itu nantinya dimaksudkan untuk menuju ke hal yang lebih baik, namun pasti juga akan menimbulkan dampak-dampak negatif dipihak lain, dan itu hal yang wajar terjadi.
Bagi para warga penghayat kepercayaan yang benar-benar telah mapan kepenghayatannya tentunya memandang hal semacam di atas sebagai hal yang biasa saja, sebab kata-kata " Ora kagetan, ora gumunan" telah menjadi karakter dalam perilaku sehari-hari. Namun apakah berarti dengan sikap begitu akan menjadikan warga penghayat menjadi "cuek", akan tidak peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi...?? Tentu saja bukan begitu !! Dengan pendalaman spiritualnya para penghayat tentunya menjadi sangat peka terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bahkan terkadang dengan sesuatu yang belum terjadi pun getaran frekuensinya sudah tertangkap oleh indera spiritualnya. Sehingga bagi yang tekun dalam menjalani laku tentunya akan mudah/segera menerima sinyal-sinyal petunjuk Tuhan YME untuk melakukan antisipasi dan mitigasi terhadap hal-hal yang akan terjadi kemudian sehingga tidak menimbulkan kerugian.

     Kondisi dunia saat ini sepertinya sedang tidak baik-baik saja, di tengah resesi global yang belum mulai membaik, wilayah Timur Tengah makin membara yang bisa saja membuahkan Perang Dunia ke 3 sebagai petaka yang bisa menghancurkan bumi ini. Dampak penyebaran Covid-19 yang belum seluruhnya tuntas, rupanya bidang medis masih harus bekerja keras demi menghadapi merebaknya beberapa penyakit latent yang terjadi di hampir semua daerah, 

Sebagai seorang penghayat yang telah banyak mengalami pahit getirnya perjuangan dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya bangsa baik secara kesukuan maupun secara nasional tanpa harus berkonfrontasi dengan budaya asing yang sebagian justru dipaksakan oleh sebagian bangsa kita sendiri, maka dengan melihat semua perkembangan secara simultan dengan tetap menatap ke depan, penulis tetap yakin dan optimis bahwa dengan berkolaborasi dengan segenap pihak secara cinta kasih, kami bangsa Indonesia akan mampu menggapai segala apa yang telah dicita-citakan sejak jamannya para founding fathers mewujudkan kemerdekaan bangsa ini secara lahir maupun batin, bahkan nantinya bangsa ini juga mampu menjadi mercu suar dunia dengan ikut menciptakan Hayuning Bawana.

    

Rabu, 14 Juni 2023

Mahargya Suro 1957 Jawa

 

Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI) dikenal sebagai Organisasi berskala Nasional yang didirikan mulai tahun 2014 mewadahi bermacam perkumpulan/organisasi penghayat kepercayaan yang mengutamakan aktifitas spiritual (kebatinan, kejiwaan, kerohanian) sekaligus menjadi tempat berkumpulnya aneka komunitas adat dan tradisi  sebagai agama leluhur yang berasal dari berbagai daerah.

MLKI kota Surabaya sejak awal berdirinya di tahun 2015 telah sepakat menjadikan tanggal 1 Suro sebagai hari besar penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang diwarisi dari organisasi sebelumnya (SKK, HPK, BKOK) layak untuk diperingati setiap tahun, bahkan di sepanjang bulan Suro para warga penghayat (secara komunitas) dibebaskan memilih hari apa saja dan tanggal berapa saja untuk memperingatinya.

Secara terkoordinasi MLKI kota Surabaya telah membentuk Panitia Suro guna mempersiapkan aneka kegiatan dalam bulan Suro yang akan datang dengan memperhatikan beberapa aspek :

  1. Situasi dunia saat ini yang terancam resesi global dan kemungkinan terjadinya Perang Dunia ke 3 serta prediksi dampaknya bagi masyarakat Indonesia
  2. Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia (khususnya kota Surabaya), yang baru bangkit dan berbenah setelah terlanda Covid-19,  yang sedang meningkatkan kewaspadaan menghadapi bahaya Intoleransi, kriminalitas dan Narkoba, yang sedang bersiap-siap mensukseskan Pemilu serentak tahun 2024

Sungguh bukan situasi dan kondisi yang baik-baik saja, perlu pemikiran mendalam dan luas guna menyusun dan mempersiapkan kegiatan-kegiatan bermutu bernuansa spiritual yang dapat dinikmati oleh banyak pihak sekaligus sebagai kontribusi warga penghayat kepercayaan dalam berpartisipasi di era percepatan pembangunan, memberikan keteladanan dalam membangun dan melestarikan budaya santun, luwes, toleran, sabar, cermat dan penuh estetika. 

    Tahun 1957 Jawa ini kami tandai dengan candrasengkala " Pandhita winisik ngarumke praja" yang mengandung arti bahwa para Penghayat Kepercayaan berniat membangun sikap Pandhita (khusuk dan banyak berdo'a ) yang selalu mengingat Tuhan YME dan menyongsong Petunjuk (winisik) agar membuahkan niat dan perbuatan positif yang dapat mengangkat harkat dan martabat (ngarumke) Negara (praja).

    Kegiatan pertama  yang akan dilaksanakan mengawali bulan Suro adalah Gelar Busana Jawa, selain sebagai sarana eksistensi penghayat, juga merupakan ajang penampilan budaya yang bernilai luhur karena hampir di tiap sisi dari bentuk, bahan, warna, dan nama-nama bagian dari busana Jawa (khususnya) memiliki makna dan nilai simbolisnya masing-masing, yang itu semua erat hubungannya dengan filosofi kehidupan di tanah Jawa. Kegiatan ini akan dilaksanakan tepat pada tanggal satu Suro yang bersamaan dengan datangnya 1 Muharram menurut penanggalan Islam.

    Kegiatan ke dua adalah mengingat sejarah sekaligus menghargai jasa para pahlawan/leluhur yang telah meninggalkan banyak warisan positif di bumi Surabaya ini . Kegiatan ini berupa kunjungan ziarah (pisowanan) ke beberapa makam leluhur Surabaya dan makam pahlawan di jl. mayjen Sungkono Surabaya. Kegiatan ini dilaksanakan mulai sore hari sampai selesai, biasanya dengan mengunjungi makam Eyang Wongsonegoro di Bangkingan, Eyang Sawunggaling di Lidah Wetan, Eyang Yudokardono di Jl. Cempaka, Tegalsari, dan juga ke Taman Makam Pahlawan.



    Kegiatan ke tiga ada kaitannya dengan maksud yang terkandung dalam kegiatan ke dua yaitu mengingat sejarah sekaligus menghargai jasa para pahlawan/leluhur yang telah meninggalkan banyak warisan positif, namun dalam bentuk yang lebih konkrit yaitu berupa Jamasan Pusaka. Aktifitas ini sebenarnya juga sebagai pelestarian tradisi masyarakat Jawa khususnya selama bulan Suro. Kegiatan ini akan digelar di pendopo Petilasan mBah Pradah yang lokasinya persis di belakang Sanggar Agung Sapto Darmo Indonesia dua hari menjelang pelaksanaan Ruwat Sukerto Murwokolo. Bagi masyarakat yang ingin mencucikan pusakanya dapat menitipkannya kepada Panitia.

     Ruwat Sukerto Murwokolo merupakan kegiatan berikutnya yang penuh kesakralan, mengingat tujuan yang ingin dicapai secara umum adalah perbaikan nasib dan keselamatan  hidup di masa mendatang bagi para pesertanya. Khusus untuk acara ini Panitia membebankan tidak hanya kepada ki Dalang, tetapi juga di dukung Laku Spiritual para sesepuh/pinisepuh penghayat yang paham akan acara ini (secara sukarela) baik dalam bentuk prosesi, sesaji, lakon pedalangan, mantra dsb. Peserta (orang tua dan yang diikutkan ruwatan) benar-benar diajak bersama-sama menjalani Laku dan berdo'a secara khusuk agar apa yang ingin dicapai semuanya dikabulkan Tuhan YME.


 

Jumat, 12 Mei 2023

Kaca mata Penghayat Kepercayaan Indonesia mengamati dinamika masyarakat

      Sebagai bagian dari warga negara Indonesia kami para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME yang tergabung dalam wadah Nasional MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia), sangat merasa bersyukur kepada Tuhan YME dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia, utamanya para petinggi negri yang atas nama Pemerintah telah sedikit demi sedikit melepaskan belenggu demi belenggu yang telah lama mengikat kebebasan kami dalam menunjukkan eksistensi sebagai warga negara yang sah, setapak demi setapak bertindak membukakan jalan buat kami untuk ikut berkiprah mengisi era kemerdekaan yang semakin nyata. Kalau dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45 tercantum untaian kata ....."kemerdekaan adalah hak segala bangsa "..... tak salahlah kiranya jika negara juga wajib memberikan kepada kami warga Penghayat Kepercayaan yang ada di segenap penjuru negri ini, kebebasan untuk eksis, kebebasan untuk berekspresi, berkumpul, berpendapat dan berbuat sesuai dengan tradisi, adat istiadat serta ajaran leluhurnya masing-masing, sepanjang itu tidak menimbulkan keresahan di masyarakat dan apalagi sampai melanggar norma hukum dan menimbulkan kerawanan sosial/negara.

      Sebagian besar masyarakat kita memang terlanjur banyak mengkonsumsi aneka makanan/minuman asing, atau setidaknya bernuansa asing misalnya mulai dari bakso, bakmi, siobak, siomay, steak, fried chicken,  kebab, Thai tea, Cheese tea, Dalgona Coffee, boba dsb.  Menggunakan aneka peralatan mulai arloji, kacamata, TV, handphone, kendaraan, mesin cuci, kulkas, AC dsb. semuanya pasti berbau asing. Mode pakaian pun juga demikian, baik yang tertutup rapat maupun yang agak terbuka bagi para wanita, hampir semua modis kiblatnya mesti luar negeri. Memang masih ada yang ingin mengembangkan mode pakaian itu berdasar adat setempat, tetapi selain jumlahnya terbatas juga daya tariknya pada masyarakat luas makin menurun dari waktu ke waktu. Apakah ini yang dikatakan sebagai ekses dari perkembangan kemajuan masyarakat, ekses dari modernisasi ???

Dalam berolah kata, terutama para pembicara yang tampil baik yang langsung di depan umum, apalagi yang lewat media misalnya  radio, di TV dsb. jika mereka tergolong orang berpendidikan tinggi umumnya menonjolkan kemampuan mereka berbahasa asing atau banyak menggunakan istilah-istilah asing yang sulit dimengerti bagi masyarakat awam. Bahasa daerah yang konon di Indonesia ini jumlahnya banyak sekali, rasanya menjadi semakin asing di negri sendiri. Selain harus paham bahasa persatuan (bhs. Indonesia), dengan semakin banyaknya istilah asing yang dipergunakan dalam bahasa Nasional kita, semakin jarang orang bercakap dengan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Salah satu terobosan yang masih kokoh melestarikan bahasa Jawa sebagai pengantar acara-acara tradisional Jawa adalah Kursus/pelatihan MC bahasa Jawa terutama untuk acara pernikahan. Untuk bahasa-bahasa daerah lainnya penulis kurang mengetahui. Yang pernah penulis ketahui malah aneh, di suatu daerah jika mengadakan upacara temanten/pernikahan, mulai dari pembukaan oleh MC, sambutan, do'a sampai akad nikah dan acara penutupan hampir 100% semuanya berbahasa Arab, padahal masyarakat umumnya di situ sehari-hari berbahasa Jawa biasa.

Untuk hal-hal yang berbau spiritual (terutama yang ada hubungannya dengan Tuhan YME), penulis tidak berani menyampaikan pendapat, karena penulis yakin bahwa itu semua terjadi/tercipta di dalam kehendak Tuhan YME sendiri, kalaupun nantinya terjadi proses pembenahan/perubahan biarlah itu berlangsung secara baik-baik lewat tangan-tangan lain yang dikehendaki Tuhan jua kiranya.

Sedikit muncul kekhawatiran, katanya... kehancuran suatu bangsa bisa terjadi jika bangsa itu kehilangan jati dirinya, kehilangan budayanya karena terjajah oleh budaya asing.....??? Mengamati semua fenomena di atas, sebagian pihak akan berkata , bahwa cepat atau lambat bangsa ini akan punah atau kembali menjadi jajahan bangsa lain yang lebih piawai. Dengan kata lain pihak tersebut setuju bahwa semua kejadian di atas bisa merupakan awal dari keruntuhan bangsa ini karena tidak mampu mempertahankan apalagi mengembangkan kualitas jati dirinya.
Bahkan ada sebagian yang malah merasa bangga jika ada kemampuan berbau asing, misalnya saja seorang kakek yang membanggakan cucunya yang masih TK sudah mampu berbahasa Inggris, padahal ini keluarga Jawa, seharusnya beliau  bangga jika cucunya mahir berbahasa Jawa yang penuh tatanan etika dan estetika, mengingat saat perkawinan kedua orang tua anak tersebut , untuk menghantar upacara pernikahan adat Jawa-nya saja terpaksa harus membayar mahal seorang MC.

Jika kita berkaca dari bangsa lain, misalnya Jepang, negeri ini berkembang pesat dengan aneka teknologinya. Dimulai dari jaman restorasi Meiji, negeri yang wilayahnya relatif tak seberapa luasnya ini mampu menggebrak bangsa Jepang yang pernah menggetarkan dunia dalam Perang Dunia ke dua, berhenti sebentar karena ledakan bom atom di dua kota Nagasaki dan Hirosima yang luluh lantak bersama hampir seluruh penduduk kota itu. Belum lagi wilayah daratan yang sering mengalami gempa bumi dan tsunami dahsyat. Pada kenyataannya sampai saat ini Negara dan bangsa Jepang masih tetap eksis dan semakin berkembang, bukan hanya kemajuan teknologinya, tapi budayanya juga tetap utuh, bahasanya, tulisannya (Katakana dan Hiragana), kulinernya, minuman tradisinya dsb. dsb. Begitu juga China dengan penduduk terbesar di dunia dengan daratan begitu luas, yang sekarang juga menjadi negara maju tapi tanpa sedikitpun kehilangan jati dirinya, bahasa sehari-hari penduduknya, tulisan-tulisan dalam semua buku (pelajaran, taman pustaka dan majalah), nama-nama toko, perusahaan, koran dsb. semuanya huruf China.

Kekhawatiran yang tersirat diatas rupanya segera terhapus setelah kita semua mengamati apa yang sedang terjadi hari ini. Dibawah pimpinan presiden ke tujuh sekarang ini Indonesia benar-benar mendapatkan rakhmat yang luar biasa dari Tuhan YME. Pembangunan di banyak bidang menjadi semakin merata dan berjalan lancar, ekonomi makin menguat (padahal dunia lagi terpapar resesi global), di bidang olahraga para atlet semakin perkasa hampir disemua arena baik di dalam maupun luar negeri. Dalam bidang pendidikan, konsep merdeka belajar menjadi semakin nyata dan bermanfaat apalagi setelah digembleng dengan kondisi merebaknya Covid-19 melahirkan suatu sistem pembelajaran yang di jaman sebelumnya tidak pernah terjadi (ada luring ada daring, tugas-tugas dijalankan secara WFH). Pembangunan infrastruktur yang pada awalnya banyak ditentang, sekarang banyak disyukuri dan didukung dimana-mana setelah dirasakan besar manfaatnya.  Pembangunan SDM mulai dirasakan di banyak sektor baik aparat termasuk bos-bosnya, swasta maupun pemerintah, kemampuan di sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi (mis. pelatihan UMKM) dsb.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari sekitar 1.340 suku bangsa (menurut sensus BPS th 2010) dengan 718 bahasa daerah dengan segala perbedaannya, telah sepakat menjadi satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air , ini terjadi sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan kini, saat ini kita sebagai suatu bangsa menyaksikan dan  sekaligus merasakan adanya akselerasi di berbagai bidang kehidupan secara nyata, semakin maju dan berkembang secara merata di hampir seluruh pelosok negeri ini. Memang masih jauh dari sempurna, tapi jelas perkembangan dan kemajuan itu makin terwujud dan dinikmati oleh semakin banyak manusia penghuni negeri ini. Perkenan Tuhan YME untuk mengabulkan cita-cita bangsa ini mulai terwujud.

Penulis teringat akan semboyan salah satu paguyuban Penghayat  : "Luhuring bangsamu mbenjang kawasea Iman suci" yang artinya bahwa Bangsa ini akan jaya bila dipimpin oleh suasana Iman suci, dengan kata lain bangsa ini akan mencapai kejayaannya apabila para pemimpinnya pada berbudi pekerti luhur dan tidak berpaham KKN (Iman suci = keyakinan akan Tuhannya sudah mencapai tahap kesucian, apapun agama/kepercayaannya) .
Semoga untuk pemimpin yang akan datang negeri ini benar-benar dianugerahi Tuhan YME pemimpin yang berkategori seperti di atas, syukur kalau kuantitas dan kualitasnya menjadi lebih baik lagi.

Kami sebagai warga penghayat kepercayaan yang saat ini berhimpun dalam bahtera besar MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan thd Tuhan YME Indonesia) yang sebagian visinya adalah pemajuan dan pengembangan budaya baik secara fisik, mental, moral dan spiritual, merasa yakin bahwa dengan menggalang persatuan dan kebersamaan dengan seluruh perbedaan yang ada, kami mampu ikut menghantar bangsa ini ke gerbang puncak kejayaannya nanti. Rahayu.