Rabu, 14 Juni 2023

Mahargya Suro 1957 Jawa

 

Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI) dikenal sebagai Organisasi berskala Nasional yang didirikan mulai tahun 2014 mewadahi bermacam perkumpulan/organisasi penghayat kepercayaan yang mengutamakan aktifitas spiritual (kebatinan, kejiwaan, kerohanian) sekaligus menjadi tempat berkumpulnya aneka komunitas adat dan tradisi  sebagai agama leluhur yang berasal dari berbagai daerah.

MLKI kota Surabaya sejak awal berdirinya di tahun 2015 telah sepakat menjadikan tanggal 1 Suro sebagai hari besar penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang diwarisi dari organisasi sebelumnya (SKK, HPK, BKOK) layak untuk diperingati setiap tahun, bahkan di sepanjang bulan Suro para warga penghayat (secara komunitas) dibebaskan memilih hari apa saja dan tanggal berapa saja untuk memperingatinya.

Secara terkoordinasi MLKI kota Surabaya telah membentuk Panitia Suro guna mempersiapkan aneka kegiatan dalam bulan Suro yang akan datang dengan memperhatikan beberapa aspek :

  1. Situasi dunia saat ini yang terancam resesi global dan kemungkinan terjadinya Perang Dunia ke 3 serta prediksi dampaknya bagi masyarakat Indonesia
  2. Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia (khususnya kota Surabaya), yang baru bangkit dan berbenah setelah terlanda Covid-19,  yang sedang meningkatkan kewaspadaan menghadapi bahaya Intoleransi, kriminalitas dan Narkoba, yang sedang bersiap-siap mensukseskan Pemilu serentak tahun 2024

Sungguh bukan situasi dan kondisi yang baik-baik saja, perlu pemikiran mendalam dan luas guna menyusun dan mempersiapkan kegiatan-kegiatan bermutu bernuansa spiritual yang dapat dinikmati oleh banyak pihak sekaligus sebagai kontribusi warga penghayat kepercayaan dalam berpartisipasi di era percepatan pembangunan, memberikan keteladanan dalam membangun dan melestarikan budaya santun, luwes, toleran, sabar, cermat dan penuh estetika. 

    Tahun 1957 Jawa ini kami tandai dengan candrasengkala " Pandhita winisik ngarumke praja" yang mengandung arti bahwa para Penghayat Kepercayaan berniat membangun sikap Pandhita (khusuk dan banyak berdo'a ) yang selalu mengingat Tuhan YME dan menyongsong Petunjuk (winisik) agar membuahkan niat dan perbuatan positif yang dapat mengangkat harkat dan martabat (ngarumke) Negara (praja).

    Kegiatan pertama  yang akan dilaksanakan mengawali bulan Suro adalah Gelar Busana Jawa, selain sebagai sarana eksistensi penghayat, juga merupakan ajang penampilan budaya yang bernilai luhur karena hampir di tiap sisi dari bentuk, bahan, warna, dan nama-nama bagian dari busana Jawa (khususnya) memiliki makna dan nilai simbolisnya masing-masing, yang itu semua erat hubungannya dengan filosofi kehidupan di tanah Jawa. Kegiatan ini akan dilaksanakan tepat pada tanggal satu Suro yang bersamaan dengan datangnya 1 Muharram menurut penanggalan Islam.

    Kegiatan ke dua adalah mengingat sejarah sekaligus menghargai jasa para pahlawan/leluhur yang telah meninggalkan banyak warisan positif di bumi Surabaya ini . Kegiatan ini berupa kunjungan ziarah (pisowanan) ke beberapa makam leluhur Surabaya dan makam pahlawan di jl. mayjen Sungkono Surabaya. Kegiatan ini dilaksanakan mulai sore hari sampai selesai, biasanya dengan mengunjungi makam Eyang Wongsonegoro di Bangkingan, Eyang Sawunggaling di Lidah Wetan, Eyang Yudokardono di Jl. Cempaka, Tegalsari, dan juga ke Taman Makam Pahlawan.



    Kegiatan ke tiga ada kaitannya dengan maksud yang terkandung dalam kegiatan ke dua yaitu mengingat sejarah sekaligus menghargai jasa para pahlawan/leluhur yang telah meninggalkan banyak warisan positif, namun dalam bentuk yang lebih konkrit yaitu berupa Jamasan Pusaka. Aktifitas ini sebenarnya juga sebagai pelestarian tradisi masyarakat Jawa khususnya selama bulan Suro. Kegiatan ini akan digelar di pendopo Petilasan mBah Pradah yang lokasinya persis di belakang Sanggar Agung Sapto Darmo Indonesia dua hari menjelang pelaksanaan Ruwat Sukerto Murwokolo. Bagi masyarakat yang ingin mencucikan pusakanya dapat menitipkannya kepada Panitia.

     Ruwat Sukerto Murwokolo merupakan kegiatan berikutnya yang penuh kesakralan, mengingat tujuan yang ingin dicapai secara umum adalah perbaikan nasib dan keselamatan  hidup di masa mendatang bagi para pesertanya. Khusus untuk acara ini Panitia membebankan tidak hanya kepada ki Dalang, tetapi juga di dukung Laku Spiritual para sesepuh/pinisepuh penghayat yang paham akan acara ini (secara sukarela) baik dalam bentuk prosesi, sesaji, lakon pedalangan, mantra dsb. Peserta (orang tua dan yang diikutkan ruwatan) benar-benar diajak bersama-sama menjalani Laku dan berdo'a secara khusuk agar apa yang ingin dicapai semuanya dikabulkan Tuhan YME.


 

Jumat, 12 Mei 2023

Kaca mata Penghayat Kepercayaan Indonesia mengamati dinamika masyarakat

      Sebagai bagian dari warga negara Indonesia kami para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME yang tergabung dalam wadah Nasional MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia), sangat merasa bersyukur kepada Tuhan YME dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia, utamanya para petinggi negri yang atas nama Pemerintah telah sedikit demi sedikit melepaskan belenggu demi belenggu yang telah lama mengikat kebebasan kami dalam menunjukkan eksistensi sebagai warga negara yang sah, setapak demi setapak bertindak membukakan jalan buat kami untuk ikut berkiprah mengisi era kemerdekaan yang semakin nyata. Kalau dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45 tercantum untaian kata ....."kemerdekaan adalah hak segala bangsa "..... tak salahlah kiranya jika negara juga wajib memberikan kepada kami warga Penghayat Kepercayaan yang ada di segenap penjuru negri ini, kebebasan untuk eksis, kebebasan untuk berekspresi, berkumpul, berpendapat dan berbuat sesuai dengan tradisi, adat istiadat serta ajaran leluhurnya masing-masing, sepanjang itu tidak menimbulkan keresahan di masyarakat dan apalagi sampai melanggar norma hukum dan menimbulkan kerawanan sosial/negara.

      Sebagian besar masyarakat kita memang terlanjur banyak mengkonsumsi aneka makanan/minuman asing, atau setidaknya bernuansa asing misalnya mulai dari bakso, bakmi, siobak, siomay, steak, fried chicken,  kebab, Thai tea, Cheese tea, Dalgona Coffee, boba dsb.  Menggunakan aneka peralatan mulai arloji, kacamata, TV, handphone, kendaraan, mesin cuci, kulkas, AC dsb. semuanya pasti berbau asing. Mode pakaian pun juga demikian, baik yang tertutup rapat maupun yang agak terbuka bagi para wanita, hampir semua modis kiblatnya mesti luar negeri. Memang masih ada yang ingin mengembangkan mode pakaian itu berdasar adat setempat, tetapi selain jumlahnya terbatas juga daya tariknya pada masyarakat luas makin menurun dari waktu ke waktu. Apakah ini yang dikatakan sebagai ekses dari perkembangan kemajuan masyarakat, ekses dari modernisasi ???

Dalam berolah kata, terutama para pembicara yang tampil baik yang langsung di depan umum, apalagi yang lewat media misalnya  radio, di TV dsb. jika mereka tergolong orang berpendidikan tinggi umumnya menonjolkan kemampuan mereka berbahasa asing atau banyak menggunakan istilah-istilah asing yang sulit dimengerti bagi masyarakat awam. Bahasa daerah yang konon di Indonesia ini jumlahnya banyak sekali, rasanya menjadi semakin asing di negri sendiri. Selain harus paham bahasa persatuan (bhs. Indonesia), dengan semakin banyaknya istilah asing yang dipergunakan dalam bahasa Nasional kita, semakin jarang orang bercakap dengan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Salah satu terobosan yang masih kokoh melestarikan bahasa Jawa sebagai pengantar acara-acara tradisional Jawa adalah Kursus/pelatihan MC bahasa Jawa terutama untuk acara pernikahan. Untuk bahasa-bahasa daerah lainnya penulis kurang mengetahui. Yang pernah penulis ketahui malah aneh, di suatu daerah jika mengadakan upacara temanten/pernikahan, mulai dari pembukaan oleh MC, sambutan, do'a sampai akad nikah dan acara penutupan hampir 100% semuanya berbahasa Arab, padahal masyarakat umumnya di situ sehari-hari berbahasa Jawa biasa.

Untuk hal-hal yang berbau spiritual (terutama yang ada hubungannya dengan Tuhan YME), penulis tidak berani menyampaikan pendapat, karena penulis yakin bahwa itu semua terjadi/tercipta di dalam kehendak Tuhan YME sendiri, kalaupun nantinya terjadi proses pembenahan/perubahan biarlah itu berlangsung secara baik-baik lewat tangan-tangan lain yang dikehendaki Tuhan jua kiranya.

Sedikit muncul kekhawatiran, katanya... kehancuran suatu bangsa bisa terjadi jika bangsa itu kehilangan jati dirinya, kehilangan budayanya karena terjajah oleh budaya asing.....??? Mengamati semua fenomena di atas, sebagian pihak akan berkata , bahwa cepat atau lambat bangsa ini akan punah atau kembali menjadi jajahan bangsa lain yang lebih piawai. Dengan kata lain pihak tersebut setuju bahwa semua kejadian di atas bisa merupakan awal dari keruntuhan bangsa ini karena tidak mampu mempertahankan apalagi mengembangkan kualitas jati dirinya.
Bahkan ada sebagian yang malah merasa bangga jika ada kemampuan berbau asing, misalnya saja seorang kakek yang membanggakan cucunya yang masih TK sudah mampu berbahasa Inggris, padahal ini keluarga Jawa, seharusnya beliau  bangga jika cucunya mahir berbahasa Jawa yang penuh tatanan etika dan estetika, mengingat saat perkawinan kedua orang tua anak tersebut , untuk menghantar upacara pernikahan adat Jawa-nya saja terpaksa harus membayar mahal seorang MC.

Jika kita berkaca dari bangsa lain, misalnya Jepang, negeri ini berkembang pesat dengan aneka teknologinya. Dimulai dari jaman restorasi Meiji, negeri yang wilayahnya relatif tak seberapa luasnya ini mampu menggebrak bangsa Jepang yang pernah menggetarkan dunia dalam Perang Dunia ke dua, berhenti sebentar karena ledakan bom atom di dua kota Nagasaki dan Hirosima yang luluh lantak bersama hampir seluruh penduduk kota itu. Belum lagi wilayah daratan yang sering mengalami gempa bumi dan tsunami dahsyat. Pada kenyataannya sampai saat ini Negara dan bangsa Jepang masih tetap eksis dan semakin berkembang, bukan hanya kemajuan teknologinya, tapi budayanya juga tetap utuh, bahasanya, tulisannya (Katakana dan Hiragana), kulinernya, minuman tradisinya dsb. dsb. Begitu juga China dengan penduduk terbesar di dunia dengan daratan begitu luas, yang sekarang juga menjadi negara maju tapi tanpa sedikitpun kehilangan jati dirinya, bahasa sehari-hari penduduknya, tulisan-tulisan dalam semua buku (pelajaran, taman pustaka dan majalah), nama-nama toko, perusahaan, koran dsb. semuanya huruf China.

Kekhawatiran yang tersirat diatas rupanya segera terhapus setelah kita semua mengamati apa yang sedang terjadi hari ini. Dibawah pimpinan presiden ke tujuh sekarang ini Indonesia benar-benar mendapatkan rakhmat yang luar biasa dari Tuhan YME. Pembangunan di banyak bidang menjadi semakin merata dan berjalan lancar, ekonomi makin menguat (padahal dunia lagi terpapar resesi global), di bidang olahraga para atlet semakin perkasa hampir disemua arena baik di dalam maupun luar negeri. Dalam bidang pendidikan, konsep merdeka belajar menjadi semakin nyata dan bermanfaat apalagi setelah digembleng dengan kondisi merebaknya Covid-19 melahirkan suatu sistem pembelajaran yang di jaman sebelumnya tidak pernah terjadi (ada luring ada daring, tugas-tugas dijalankan secara WFH). Pembangunan infrastruktur yang pada awalnya banyak ditentang, sekarang banyak disyukuri dan didukung dimana-mana setelah dirasakan besar manfaatnya.  Pembangunan SDM mulai dirasakan di banyak sektor baik aparat termasuk bos-bosnya, swasta maupun pemerintah, kemampuan di sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi (mis. pelatihan UMKM) dsb.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari sekitar 1.340 suku bangsa (menurut sensus BPS th 2010) dengan 718 bahasa daerah dengan segala perbedaannya, telah sepakat menjadi satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air , ini terjadi sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan kini, saat ini kita sebagai suatu bangsa menyaksikan dan  sekaligus merasakan adanya akselerasi di berbagai bidang kehidupan secara nyata, semakin maju dan berkembang secara merata di hampir seluruh pelosok negeri ini. Memang masih jauh dari sempurna, tapi jelas perkembangan dan kemajuan itu makin terwujud dan dinikmati oleh semakin banyak manusia penghuni negeri ini. Perkenan Tuhan YME untuk mengabulkan cita-cita bangsa ini mulai terwujud.

Penulis teringat akan semboyan salah satu paguyuban Penghayat  : "Luhuring bangsamu mbenjang kawasea Iman suci" yang artinya bahwa Bangsa ini akan jaya bila dipimpin oleh suasana Iman suci, dengan kata lain bangsa ini akan mencapai kejayaannya apabila para pemimpinnya pada berbudi pekerti luhur dan tidak berpaham KKN (Iman suci = keyakinan akan Tuhannya sudah mencapai tahap kesucian, apapun agama/kepercayaannya) .
Semoga untuk pemimpin yang akan datang negeri ini benar-benar dianugerahi Tuhan YME pemimpin yang berkategori seperti di atas, syukur kalau kuantitas dan kualitasnya menjadi lebih baik lagi.

Kami sebagai warga penghayat kepercayaan yang saat ini berhimpun dalam bahtera besar MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan thd Tuhan YME Indonesia) yang sebagian visinya adalah pemajuan dan pengembangan budaya baik secara fisik, mental, moral dan spiritual, merasa yakin bahwa dengan menggalang persatuan dan kebersamaan dengan seluruh perbedaan yang ada, kami mampu ikut menghantar bangsa ini ke gerbang puncak kejayaannya nanti. Rahayu.


Sabtu, 18 Juni 2022

Ruwatan di era New Normal yang lebih menantang

Dua tahun lebih negeri kita dilanda covid-19 yang dampaknya mendera hampir semua lini kehidupan, menelan korban jiwa di semua lapisan masyarakat, tua muda bahkan anak, tak peduli keluarga miskin atau kaya, berpangkat atau tidak, keluarga bersih atau kotor, semuanya sempat ketar-ketir, setiap hari ada yang meninggal dunia yang terkadang sewilayah RT bisa lebih dari satu.

Patut disyukuri, kondisi yang sampai pada puncaknya di sekitar bulan Juli 2021, akhirnya semakin hari menjadi semakin baik, semakin melandai, hal itu terjadi karena ketatnya peraturan Pemerintah, semakin sadarnya masyarakat, maupun semakin gencarnya upaya medis baik berupa pencegahan, pengobatan serta vaksinasi yang terus digalakkan.

Walaupun begitu, rupanya pandemi ini masih belum bisa dikatakan berakhir, sebab walaupun virus utama dari covid-19 ini telah mulai bisa ditanggulangi dengan vaksinasi, ternyata virus ini mampu mengembangkan varian-varian baru yang terkadang lebih mudah menular yang perlu terus diwaspadai. Bukan hanya itu, dunia kesehatan belum bisa bernapas lega, karena ternyata di negara-negara luar juga timbul jenis-jenis penyakit baru yang mulai menyebar, seperti misalnya cacar monyet, hepatitis misterius, penyakit usus dsb.

Selain itu, masyarakat juga belum bisa tenang karena banyaknya permasalahan yang timbul, bencana alam di sana-sini muncul sewaktu-waktu, naiknya harga-harga kebutuhan pokok baik akibat perang, permainan para mafia, dan juga akibat cuaca ekstrim yang memandulkan pergantian musim sehingga banyak petani dan nelayan dibikin susah. Belum lagi mewabahnya PMK yang merugikan para peternak sapi dan pengusaha susu sapi. Semua peristiwa itu bisa terjadi di mana saja utamanya di negeri kita.

Di tengah ketidak pastian yang sama-sama kita rasakan ini, MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) kota Surabaya bertekad bulat untuk memperingati datangnya bulan Suro tahun 1956 Jawa, bulan sakral bagi masyarakat Jawa, sebagai bulan pertama di tahun Jawa, yang selalu dipenuhi kegiatan-kegiatan rohani dalam rangka mengagungkan Tuhan YME, mendoakan roh-roh suci para leluhur agar oleh Tuhan YME diberikan tempat yang layak sesuai dengan perjuangan luhurnya dalam membela serta membangun bangsa dan negeri ini pada jamannya. Juga memanjatkan doa semoga Tuhan YME mengampuni dosa-dosa bangsa ini, dosa-dosa para pemimpin, serta Tuhan selalu membimbing seluruh bangsa ini menuju jaman yang semakin gemilang, makin maju, makin sejahtera dan makin jaya.

Peringatan hari Gora 1 Suro 1956 Jawa ini akan dibuka dengan Gelar Busana Jawa pada hari Sabtu 30 Juli 2022 di depan Grahadi, selanjutnya juga akan diadakan acara Sowan Astana Leluhur doa/semedi di makam-makam para leluhur Surabaya. Juga akan diadakan acara Jamasan Pusaka dan  acara Ruwatan Murwokolo Massal yang sedianya akan digelar pada tanggal 28 Agustus 2022 mendatang. Penyelenggaraan acara ruwatan ini didorong oleh keinginan luhur "Mempersiapkan generasi penerus yang lebih bersih (jiwanya), guna menghadapi tantangan jaman yang semakin kompleks" di kemudian hari. Bagi yang berminat mengikuti/mengikutsetakan putra/putrinya dalam acara ini silahkan klik Ruwatan1956 Jawa

Acara Ruwatan Murwokolo Massal ini akan dikemas sebegitu sakral di pagi sampai siang hari, malamnya diselenggarakan  acara Resepsi Suro 1956 Jawa yang didahului dengan Sesaji Suro, dan Donga Suro, dilanjutkan pagelaran Wayang Kulit.

Guna menandai angka tahun 1956 Jawa ini kami siratkan harapan di tengah situasi dan kondisi yang sedang berkembang dan penuh ketidak pastian ini, hendaknya kita lebih jeli mengendalikan diri dalam memenuhi keinginan hawa nafsu yang timbul akibat bekerjanya pancaindera. Hendaknya kita lebih meningkatkan kesadaran kita dalam melihat dan menghadapi segala permasalahan, dengan selalu ingat bahwa semua yang terjadi ini ada dalam kehendak Tuhan YME. Tahun 1956 Jawa ini kami tandai dengan sengkalan tahun "Osiking nDriya Hambuka Budi" Semoga segala gerak/getar pancaindera kita membuka pemikiran-pemikiran cerah yang melahirkan perilaku-perilaku luhur yang berguna bagi masyarakat bangsa dan negara kita.

Apapun yang akan kami selenggarakan bersama seluruh Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME, seluruhnya hanya kami serahkan sepenuhnya di dalam Kuasa dan Kebijakan Tuhan YME. Kami semua hanya makhluk yang tak punya apa-apa, tak bisa apa-apa, dan hanya akan patuh tunduk dalam kehendak-Nya.

Rahayu

Rabu, 12 Juni 2019

Menjelang bulan Suro 1953 Jawa

Tertuangnya tulisan ini kami anggap sangat penting, karena selain sebagai bahan informasi juga memuat suatu strategi yang diharapkan dapat memotivasi masyarakat termasuk para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME utamanya yang berdomisili di kota Surabaya, untuk setidaknya lebih mempersiapkan diri dalam memasuki bulan Suro 1953 yang tahun ini akan jatuh pada sekitar tanggal 1 September 2019.
Pada hari Jum'at malam tanggal 31 Mei 2019 yang lalu bertempat di sebuah beranda rumah di daerah kelurahan Manukan Kulon kecamatan Tandes- Surabaya melalui suatu musyawarah diantara para tokoh organisasi penghayat kepercayaan yang tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) kota Surabaya disepakati terbentuknya Panitia Peringatan Suro 1953 Jawa kota Surabaya, dan terpilih sebagai Ketua adalah Bapak Udjiono sebagai tokoh penghayat perorangan.
Kepada hadirin sempat diuraikan rangkaian kegiatan MLKI kota Surabaya pada tahun lalu yang meliputi :




  • Gelar budaya simpatik, dengan pengerahan sekitar 200 orang lebih peserta yang mengenakan busana daerah berasal dari berbagai komunitas yang bergabung secara spontanitas. Acara diselenggarakan di Taman Surya depan Grahadi (rumah kediaman Gubernur Jawa Timur)
  • Acara ritual doa dan tabur bunga di makam-makam para leluhur kota Surabaya termasuk di Makam Pahlawan jalan mayjen Sungkono Surabaya.
  •  

  •  Jamasan Pusaka yang diselenggarakan di pendopo Punden Pradah di belakang Sanggar Sapta Darma Indonesia, sehari menjelang acara puncak.
  •  



  • Ritual Ruwatan Sukerta yang pendaftarannya sudah dimulai 3 bulan sebelumnya dan pelaksanaannya disemarakkan dengan pagelaran Wayang Kulit di siang hari.
  •  
  • Seremonial peringatan 1 Suro yang dibuka dengan hidangan Tari Ngremo dan diselingi tembang-tembang Mocopat.
  • Ritual Ujub Sesaji Suro yang diwarnai dengan berbagai bentuk dan macam Sesaji lengkap.
  • Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk yang biasanya diselingi pembagian hadiah untuk penonton yang beruntung.
Hal-hal tersebut diuraikan dengan maksud untuk dicermati oleh hadirin maupun sidang pembaca, mungkin ada usul-usul baru atupun ada koreksi terhadap rangkaian acara di atas.
Kepada sidang pembaca yang ingin berpartisipasi dapat menghubungi pengurus MLKI kota Surabaya di nomor 089683570697

Senin, 03 Juni 2019

Menapaki perubahan kehidupan

Selamat berjumpa,
Hari ini... dan mungkin sejak kemarin dulu bahkan sejak lama, kita bisa melihat, mendengar dan merasakan adanya segala sesuatu yang berubah di sekeliling kita. Ada yang selalu berulang dan ada pula yang terus berubah, mulai dari hal paling kecil/sepele sampai ke hal-hal yang besar dan istimewa. Dan memang, kalau kita mau menyaksikan semua itu, agaknya dapat disimpulkan bahwa tak ada sesuatu pun di dunia ini yang tidak pernah berubah atau bersifat abadi, dan justru perubahanlah yang selalu terjadi pada apa saja, di mana saja dan kapan pun saja. Justru perubahan itulah yang akan selalu terjadi.
Dalam kehidupan kita sebagai makhluk, kita mengenal adanya perubahan baik secara internal (individu) maupun secara eksternal (keluarga, masyarakat, lingkungan, negara dsb). Perubahan-perubahan tersebut ada yang menuju arah positif (menguntungkan, menyelamatkan) namun ada pula yang menuju arah negatif (merugikan, mencelakakan, menghancurkan, memusnahkan) dan banyak pula yang arahnya belum jelas karena masih dalam proses yang panjang. Adapun dari semua proses perubahan itu kita hanya bisa melihat dari tingkat kecepatannya yaitu dari kecepatan paling rendah yang kita sebut dengan istilah lambat sampai kecepatan sangat tinggi yang diistilahkan sebagai super cepat.
Seringkali kita mendengar adanya semboyan " jadikanlah diri Anda/kita ini agen-agen perubahan !"  Semboyan seperti ini agaknya tidaklah menjadi tepat apabila Anda menelusuri tulisan ini dari awalnya, sebab tanpa berusaha apa pun, dan dalam keadaan diam sekalipun, sebenarnya kita semuanya akan mengalami/menjalani perubahan, baik secara individual maupun bersama-sama dengan perubahan segala sesuatu di luar diri kita. Adapun maksud dari semboyan tersebut adalah memotivasi diri Anda/kita untuk berani memulai suatu perubahan. Memulai di sini bisa berarti mengawali secara pribadi, bisa juga berarti ikut mendukung suatu permulaan perubahan, itu tergantung dari posisi Anda/kita masing-masing.

Kamis, 20 Agustus 2015

Secercah makna Ruwatan Sukerta

       Uwas iku Tiwas ! Begitu salah satu sabda suci yang terlontar tegas dari leluhur kita. Uwas dalam bahasa Jawa berarti kuatir atau ragu, Tiwas berarti celaka atau bahkan mati. Sedemikian tegasnya kalimat itu diungkap tentunya bukan tanpa sebab. Kita semua tahu bahwa keraguan atau kekuatiran adalah salah bentuk ketidak percayaan kita terhadap sesuatu. Di satu sisi memang seseorang terkadang perlu meragukan dan menguatirkan untuk melakukan suatu tindakan guna mewujudkan kehati-hatian, namun hal tersebut juga bisa berakibat  membatalkan tindakan tersebut sama sekali. Di sisi lain keraguan ataupun kekuatiran akan sesuatu justru dapat menyebabkan tidak fokusnya perhatian kita terhadap hal-hal lain yang sedang kita hadapi yang justru dapat mencelakai diri kita sewaktu-waktu.
Kekuatiran apabila dinilai dari sisi spiritual dapat juga sebagai pengukur sebesar apa keyakinan kita  kepada Tuhan YME. Semakin kita banyak kuatir maka semakin tipislah keyakinan/Iman kita terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Melindungi dst.
Perihal rasa kuatir itu sendiri dapat muncul sewaktu-waktu atau bahkan sepanjang waktu apabila ada sesuatu kejadian yang kita anggap tidak/kurang wajar atau bahkan dari sesuatu yang istimewa. Contohnya pada anak yang terlahir cacat sejak lahir, siapapun yang terkait keluarga dengannya (Ayah, Ibu, saudara, Kakek, Nenek dst.) pasti akan menguatirkan segala gerak-geriknya sehari-hari termasuk kehidupannya di masa depan. Kekuatiran yang kemudian menimbulkan tindakan positip misalnya langsung memberikan fasilitas untk mengganti/ memenuhi segala kekurangan bagi si cacat sekalian memberikan pelatihan-pelatihan, sehingga si cacat mampu melakukan hal-hal sebagaimana orang yang tidak cacat, maka hal semacam itu akhirnya akan menghilangkan rasa kuatir keluarga, apalagi jika yang bersangkutan bahkan mampu memperlihatkan kelebihan-kelebihannya. Sebaliknya, dari kekuatiran itu pula mungkin yang timbul adalah tindakan-tindakan baik hati misalnya selalu menjaga agar si cacat tidak terjatuh, malah kalau bisa tidak usah bergerak, semua kebutuhannya ditolong/dilayani. Akibatnya si cacat untuk seterusnya tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa pertolongan orang lain, dan bahkan mungkin akan mudah terkena bencana/sial apabila tanpa orang lain di sisinya.
Bagi orang Jawa, upaya untuk menghapus rasa kuatir tersebut diawali dari mendeteksi akar penyebabnya yaitu kondisi  sejak lahir, kondisi saat masih kecil sampai remaja ataupun peristiwa-peristiwa unik dan tidak biasa, yang dialami oleh seseorang dalam kehidupannya. Para penyandang rasa kuatir (penyandang penyebab kesialan) tersebut disebut Janma Sukerta, yang dianjurkan untuk mengikuti acara ritual Ruwatan Sukerta.
Dengan lenyapnya segala bentuk kekuatiran/keraguan diharapkan munculnya generasi yang penuh percaya diri serta penuh yakin akan adanya Tuhan YME yang telah menciptakan segalanya sekaligus memproses keseluruhannya menuju arah kesempurnaan tanpa batas.
kayubiz.blogspot.com
Bagi pembaca yang berminat mengikuti atau mengikut sertakan putra/putrinya dalam Ruwatan Sukerta Murwokolo tahun ini silahkan klik di sini

Selasa, 30 September 2014

SURO sebagai awal penanggalan Jawa


       Di dalam sistem kalender atau penanggalan Jawa kita mengenal nama-nama bulan yaitu Suro, Sapar, Mulud, Ba'da Mulud, Jumadil Awal, Jumadil akir, Rejeb, Ruwah , Pasa, Syawal, Sela, Besar. Nama-nama bulan seperti yang penulis sebutkan ini menurut sejarah, barulah dimunculkan setelah Sri Sultan Agung Hanyakrakusuma seorang raja Mataram yang memerintah antara tahun  1613 - 1645   berhasil menciptakan suatu sistem penanggalan baru yang merupakan penggabungan dari dua sistem penanggalan yaitu Tahun Saka Jawa dengan tahun Hijriyah yang berasal dari kebudayaan Islam. Penulis katakan sebagai tahun Saka Jawa karena tahun tersebut juga merupakan perpaduan antara tahun Jawa yang asli dengan tahun Saka dari Hindustan. 
        Peristiwa penciptaan tahun Jawa karya Sultan Agung ini terjadi bertepatan dengan tanggal 1 Suro tahun Alip 1555 dan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah, tepat pula dengan tanggal 8 Juli 1633, harinya Jum'at Legi . Kalender Jawa ini disebut juga kalender Sultan Agung atau Anno Javanico (AJ).
      Bulan Suro pada akhirnya menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, mengapa demikian ?? Seiring dengan perkembangan jaman dimana identitas masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME (yang dulunya adalah kelompok kaum kebatinan/kejiwaan/kerohanian) diakui melalui peraturan perundang-undangan baik yang bersumber pada UUD 1945 maupun Tap MPR dsb. maka telah juga disepakati bahwa 1 Suro dijadikan hari besar bagi para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME di Indonesia yang pelaksanaannya selalu bersamaan dengan 1 Muharam pada penanggalan Hijriyah.
        Sesuai dengan kebiasaan yang terjadi sejak tahun baru Jawa karya Sri Sultan Agung belum dijalankan bahkan sejak tahun Jawa yang asli belum tersentuh budaya Hindu (tahun Saka), maka di bulan awal setiap tahun baru selalu diiringi dengan ritual-ritual sakral sebagai bentuk harapan bagi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, untuk itulah maka setiap bulan Suro selalu diisi dengan perilaku-perilaku ritual yang dilakukan baik secara mandiri maupun secara berkelompok atau bersama-sama. 
Sesaji Suro misalnya yang selalu mengisi peringatan 1 Suro, adalah suatu bentuk ritual yang mana saat itu digelar aneka macam sajian makanan maupun minuman yang bentuknya bermacam-macam dengan namanya masing-masing, serta benda-benda seperti keris,  tombak dan payung pusaka, juga buah-buahan, aneka bunga dll. Sesaji tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengundang roh-roh orang yang sudah meninggal ataupun dewa-dewa, melainkan untuk dijadikan sarana mengingat jasa-jasa para leluhur atau nenek moyang bangsa serta melestarikan ajaran para leluhur tersebut utamanya yang berhubungan dengan pengungkapan asal-usul kehidupan manusia sekaligus mengingatkan tugas-tugas mulia yang harus dilakukan manusia yang percaya dan tunduk patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa . Jadi Aneka macam bentuk dan warna makanan, minuman, ataupun benda-benda yang jumlahnya tidak kurang dari 40 macam tersebut merupakan simbol-simbol perilaku kehidupan yang baik dan luhur yang selalu didambakan setiap manusia yang ingin hidup bahagia sejahtera dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk lebih jelasnya hal tersebut akan diuraikan pada halaman : Makna Sesaji Suro.
Selain pembuatan sesaji biasanya masyarakat kebanyakan juga menyelenggarakan selamatan (berdo'a bersama untuk memperoleh keselamatan dalam mengarungi roda kehidupan) yang dilanjutkan dengan acara makan bersama sebagai lambang persaudaraan. Ada pula yang secara perorangan membuat bubur Suro yang kemudian dibagikan kepada para tetangga terdekat. Bagi keluarga mampu biasanya di bulan sakral Suro ini juga menyelenggarakan ritual Ruwatan Sukerta Murwokolo sebagai salah satu cara untuk ngruwat (menghilangkan) Sukerta (penyebab kesialan dalam hidup) bagi anggota keluarga yang dianggap menyandang sukerta. Seringkali acara ruwatan seperti ini dilakukan dengan pagelaran wayang kulit yang mengambil judul/lakon Murwokolo yaitu lahirnya Batara Kala (Dewa penimbul bencana)
Pelaksanaan Ruwatan seperti tersebut di atas juga dapat ditujukan pada hal-hal yang lebih luas misalnya Ruwatan untuk Desa, Ruwatan untuk Kota juga Ruwatan Sengkolo untuk Negara atau mungkin juga ruwatan untuk satu perusahaan agar keselamatan dan kesejahteraan selalu menyertai seluruh isi perusahaan baik si empunya maupun para karyawannya.

Saat ini pelaksanaan Ruwatan Sukerta seringkali diselenggarakan secara massal dengan maksud agar dapat diikuti oleh banyak peserta sekaligus, selain menyingkat waktu juga dimaksudkan agar dapat diikuti secara bergotong royong sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi relatif terjangkau bagi banyak orang. Untuk dapatnya Anda atau keluarga Anda memahami makna atau ingin mengikuti / menjadi peserta dalam acara Ruwatan Sukerta tersebut silahkan klick di sini.
Adapun jika Anda ingin mengikuti alur ceritanya bisa dengan klick  Yang Ini

Perilaku ritual bagi masing-masing pribadi yang masih berpegang teguh pada sendi-sendi budaya asli (Kejawen umumnya) dilakukan baik secara pribadi maupun berkelompok, ada dengan cara berpuasa, melakukan tarak dengan menghindari makanan-makanan tertentu (mutih, ngrowod dsb.), bertapa, bersemedi di tempat tertentu (kungkum, ngebleng, pati geni Jw.) dll.
Bagi para pemilik pusaka biasanya juga menyelenggarakan Jamasan Pusaka sebagai sarana untuk membersihkan dan memelihara pusaka tersebut dengan cara tradisional sebaik-baiknya, selain sebagai penghormatan bagi pembuatnya juga guna melestarikan nilai-nilai sejarah, nilai-nilai seni serta falsafah atau pesan-pesan suci yang terkandung di dalamnya.

Sudah tentu tidak semua pemilik pusaka mampu melakukan Jamasan Pusaka tersebut secara pribadi, kebanyakan dari mereka akan mencari orang lain yang dianggap paham dalam melakukan jamasan tersebut. Sayangnya orang-orang yang memiliki kemampuan seperti ini saat ini belum banyak bahkan semakin langka.
Namun.... Anda tidak perlu kuatir.... Bagi Anda yang benar- benar ingin benda-benda pusakanya terawat dengan baik sehingga kandungan energinya pun masih bisa dimanfaatkan, pada setiap bulan Suro kami juga melayani perawatan pusaka berupa Jamasan Pusaka Massal.
Pelaksanaan acara tersebut akan diuraikan di halaman lain dalam blog ini pula.